gravatar

Pemajakan atas Illusory Gains di Indonesia




Prinsip ability-to-pay berpandangan bahwa pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi (selanjutnya disebut sebagai WP OP), dilakukan ketika penghasilan tersebut telah nyata-nyata diterima atau diperoleh WP OP yang bersangkutan (Joachim Lang, 2003:14). Di mana definisi dari penghasilan sendiri adalah sejumlah keuntungan atau tambahan kemampuan ekonomis “riil“ yang diperoleh WP OP (Kevin Holmes, 2000:341-378). Artinya, sudah menjadi keharusan bahwa PPh hanya dikenakan terhadap “penghasilan riil“ WP OP. Nah masalahnya, apakah UU PPh di Indonesia sudah menganut prinsip ini dengan tepat?

Pemajakan atas Keuntungan dari Penjualan Harta Pribadi


Sesuai ketentuan tatacara pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, WP OP diwajibkan untuk mengisi daftar harta yang dimilikinya. Jika kemudian terjadi penjualan harta pribadinya tersebut, sudah barang tentu akan terekam dalam SPT WP OP yang bersangkutan, di mana akan terlihat adanya pengurangan jumlah asset/harta pribadi yang dimilikinya. Melihat hal tersebut, tentunya pihak pajak akan menilai bahwa transaksi tersebut menimbulkan keuntungan atau gain sebagai tambahan penghasilan di sisi WP OP. Apabila kondisi ini terjadi, sepanjang terdapat penghasilan yang diterima WP OP tersebut, maka dari sisi WP OP akan dikenai PPh sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Contoh berikut ini memberikan ilustrasi pemajakan atas illusory gains yang terjadi di Indonesia. Misalnya di awal tahun 2000 seorang WP OP membeli perhiasan emas untuk dipakai sendiri dengan total nilai sebesar Rp 15 juta. Kemudian di tahun 2007, karena terdesak keperluan untuk membiayai sekolah anaknya, WP OP tersebut memutuskan untuk menjual perhiasannya dengan harga jual sebesar Rp 40 juta. Memang, kesan pertama yang akan muncul dari ilustrasi di atas adalah adanya penghasilan (income) yang diterima oleh WP OP sebesar Rp 25 juta (Rp 40 juta – Rp 15 juta). Mengacu pada ketentuan perpajakan Indonesia, tentunya seluruh nilai transaksi penjualan perhiasan tersebut, langsung dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis (economic benefits) / penghasilan bagi WP OP. Dan atas penghasilannya tersebut, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku. Padahal atas penghasilan yang diterima sebesar Rp 25 juta tersebut belum tentu mempengaruhi real economic benefits yang diterima oleh WP OP yang bersangkutan. Dengan kata lain, dalam kasus ini di Indonesia, PPh tetap dikenakan walaupun WP OP belum tentu mendapatkan keuntungan yang benar-benar nyata (real gain) dari transaksi penjualan yang dilakukannya karena bisa jadi keuntungan tersebut semata-mata atau sebagian dipengaruhi oleh faktor inflasi (Kevin Holmes, 2000: 342).

Di negara-negara lain, khususnya yang dikategorikan sebagai Negara-negara maju (Shome, 1995:158), menyatakan bahwa dalam kondisi inflasi, keuntungan yang diperoleh dari penjualan harta pribadi diberikan penyesuaian atau diberikan indeksasi nilai inflasi (Kevin Holmes, February 2000: 342). Bahkan, Parthasarathi Shome, mantan Chief of Tax Policy Division International Monetary Fund (IMF), menegaskan bahwa seharusnya perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi penjualan aset/harta yang dilakukan oleh WP OP, juga didasarkan atas jangka waktu (holding period criteria) kepemilikan aset atau harta tersebut (Shome, 1995:157).
Di mana diatur bahwa, jika jangka waktu kepemilikan aset oleh seorang WP OP relatif lama—misalnya 10 atau bahkan 20 tahun—maka tarif PPh yang dikenakan atas penghasilan dari penjualan aset tersebut akan lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPh yang dikenakan atas penghasilan dari penjualan aset yang dimiliki oleh WP OP, dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hal tersebut didasarkan untuk membedakan perlakuan perpajakan atas jual beli aset untuk tujuan investasi dan tujuan spekulasi.

Penutup
Di Indonesia, konsep “penghasilan riil” sebagaimana dijelaskan di atas sepertinya cenderung terabaikan. Sesuai ketentuan yang berlaku saat ini yaitu Pasal 4 ayat (1) UU PPh dinyatakan bahwa PPh dikenakan atas adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh WP OP, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang berasal dari manapun di seluruh dunia (world wide income), yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP yang bersangkutan. Namun ketentuan tersebut dijalankan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor inflasi, sebagai faktor pengurang keuntungan atas penjualan harta pribadi yang tujuan utamanya bukan untuk spekulasi. Jika memang otoritas pajak di Indonesia tetap mempertahankan agar PPh dikenakan atas seluruh keuntungan yang diperoleh WP OP dari penjualan harta pribadi tanpa mempertimbangkan faktor inflasi seperti yang diilustrasikan di atas, maka wajar kiranya jika seorang Profesor dari University of Cologne, Joachim Lang mengatakan, ”Gains without improving the taxpayer’s economic position in reality are “illusory gain” (Kevin Holmes, 2000:341-378). Dan ironisnya, sampai saat ini ketentuan perpajakan di Indonesia masih mengenakan PPh terhadap illusory gain.

Darussalam dan Danny Septriadi - Danny Darussalam Tax Center, 22 Juli 2007
sumber: http://www.ortax.org/ortax/