Archives

gravatar

Pajak Perusahaan Bangkrut

Jakarta - Perusahaan tempat saya bekerja bangkrut pada tahun 2006 dan bermaksud untuk menutup perusahaan sekaligus melakukan usul pencabutan PKP dan NPWP. Kami telah memperoleh akte pembubaran perusahaan dan bermaksud membagikan sisa aktiva yang tersedia kepada pemegang saham. Aktiva yang ada berupa sejumlah mesin, tanah dan bangunan.

Jika melalukan permohonan pencabutan NPWP pasti akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh kantor pajak. Untuk itu kami mohon penjelasan obyek pajak apa saja yang timbul dari transaksi likuidasi tersebut, termasuk pembagian/pengalihan aktiva perusahaan dan adakah peraturan perpajakan yang mengatur tata cara likuidasi ?

Jawaban:

Pasal 10 ayat (3) UU PPh No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 tahun 2008 menyebutkan bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan peraturan di atas, maka atas permasalahan saudara dimana perusahaan saudara bermaksud membagikan sisa aktiva (mesin, tanah dan bangunan) yang tersedia kepada pemegang saham akan dianggap sebagai transaksi penyerahan barang kena pajak (dengan menggunakan harga pasar) dan kemudian hasil penyerahan tersebut dibagikan sebagai pengembalian modal kepada pemegang saham.

Implikasi perpajakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak dengan harga pasar tersebut adalah sebagai berikut:

a. PPN 16 D (10% dari nilai pasar)

Pasal 16 D UU PPN No. 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000 menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

b. PPh 5% atas pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 71/2008 menyebutkan bahwa besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Lebih lanjut, Pasal 4 (2) peraturan yang sama menyebutkan bahwa nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Apabila penyerahan tanah dan atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009, maka PPh 5% atas pengalihan hak atas tanah dan /atau bangunan tersebut dapat diperlakukan sebagai kredit pajak dalam PPh Badan. Apabila penyerahan tanah dan / bangunan dilakukan tanggal 1 Januari 2009 dan setelahnya, maka PPh 5% atas pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan tersebut bersifat final.

c. PPh atas keuntungan penjualan

Keuntungan atas penjualan mesin, tanah dan bangunan dikenakan tarif pajak sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 tahun 2008.

Demikianlah penjelasan yang dapat kami berikan. Terima kasih.

Verawaty-Supervisor Tax PB&Co (pbc/qom)

gravatar

Pajak untuk Rumah Rp 60 Juta

Jakarta - Pertanyaan:

Berapa persen kah Pajak dari harga rumah yang nilai Jualnya seharga Rp 60 juta dan luas nya sekitar 55m2. Dan berapakah biaya pengurusan balik nama di Notaris? Sebelum dan sesudahnya Saya ucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan penjelasannya

Jawaban:

Bagi orang pribadi yang menjual rumah senilai Rp. 60 juta, sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 79 Tahun 1999, dikenakan PPh dengan tariff sebesar 5% (dari nilai tertinggi antara nilai jual dengan NJOP) dan bersifat final. Mengenai biaya pengurusan balik nama di Notaris, sepengetahuan kami tergantung pada kesepakatan dengan Notaris yang bersangkutan (negotiable).

gravatar

PERLAKUAN PPN ATAS TRANSAKSI LEASING

1. Pendahuluan
     Leasing atau Sewa-guna-usaha didefinisikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease)maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee (penyewa guna usaha) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
     Dalam transaksi leasing ada beberapa pihak yang terlibat, antara lain lessor, lessee, supplier, dan disamping itu transaksi leasing juga sering melibatkan bank dan perusahaan asuransi.
Di Indonesia dikenal 2 jenis leasing yaitu Financial Lease (Capital Lease) dan Operating Lease.
     Yang pertama, Financial Lease (Capital Lease) adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (hak opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
     Sesuai Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), sewa-guna-usaha dengan hak opsi ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya.
     Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan tersebut disebutkan bahwa kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
  1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
  2. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk Barang Modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk Barang Modal Golongan II dan III dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan.
  3. Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
     Yang kedua, Operating Lease adalah suatu sistem penyewaan dimana pihak yang menyewakan menyediakan jasa-jasa tertentu seperti asuransi atau pemeliharaan, syarat-syarat kontraknya biasanya tidak menjamin pihak lessor memperoleh pengembalian penuh ongkos-ongkos barang modal dan lain sebagainya (non full payout lease) dan ia menanggung resiko ekonomi dari kepemilikannya itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis sewa-guna-usaha ini adalah kontrak sewa-menyewa biasa. Pihak lessor menyediakan barang modal untuk digunakan oleh lessee selama masa sewa, dan pihak lessee berkewajiban membayar uang sewa. Pada waktu berakhirnya masa kontrak, lessee berkewajiban mengembalikan barang modal tersebut.
     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut :
Pasal 1
    huruf b : Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Badan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan
    huruf c : Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
    huruf d : Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perseorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan (Lessor)
Pasal 3
    Ayat (1) : Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut.
    Ayat (2) : Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali.
    Ayat (3) :  Sepanjang perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal obyek transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan pembiayaan.
     Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi (leasing) dapat dilaksanakan sebagai berikut :
  1. Sewa Guna Usaha (Financial Lease)
  2. Penjualan dan Penyewaan Kembali (Sales and Lease Back)

Proses terjadinya Financial Lease dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :








Penjelasan :
  1. Lessee memutuskan macam barang modal yang dikehendaki yang terdapat di Manufacturer/supplier (Penjual).
  2. Lessee dan Lessor membuat kontrak (Lease).
  3. Lessor membayar harga barang (harga pasar dan wajar) kepada Penjual, biasanya 100%.
  4. Lessee menerima barang. Pada waktu itu kontrak (Lease) efektif berlaku.
  5. Pada waktunya lessee membayar rental (sewa) pada lessor (dapat bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan).
  6. Lessee dapat membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang/tidak memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha (hak opsi).
Unsur-unsur lainnya adalah :
  1. Penyewa memiliki kesempatan pertama untuk membeli perlengkapan tersebut pada waktu berakhirnya jangka waktu penyewaan.
  2. Selama jangka waktu penyewaan, hak atas perlengkapan berada pada pihak yang Menyewakan.
  3. Hak atas perlengkapan pindah kepada Penyewa apabila ia memilih untuk membeli pada akhir jangka waktu penyewaan.
  4. Penyewa harus mengadakan asuransi untuk perlengkapan yang diabsahkan kepada pihak yang Menyewakan.
  5. Pemeliharaan perlengkapan menjadi tanggung jawab penyewa.

Proses terjadinya Sales and Lease Back dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :






Penjelasan:
  1. Lessee dan Lessor membuat kontrak (Lease).
  2. Lessee menjual barang modal kepada Lessor.
  3. Lessor membayar harga barang yang disepakati kepada Lessee.
  4. Pada waktunya lessee membayar sewa (lease fee) pada Lessor. (dapat bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan)
2. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai alas Leasing (Sewa Guna Usaha)
a. Financial Lease
      Dalam transaksi ini, Lessee belum pernah memiliki barang modal yang menjadi obyek sewa-guna-usaha, sehingga atas permintaannya Lessor membeli barang modal tersebut.
      Dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi (financial lease), ada dua jenis penyerahan yaitu penyerahan barang modal dan penyerahan jasa.
      Sesuai dengan Pasal 1A ayat (1) huruf b (sebelumnya diatur dalam Pasal 1 huruf d angka 1 huruf b Undang-Undang PPN 1984) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Penjelasannya (“Undang-Undang PPN”) antara lain dinyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas BKP belum dilakukan dan pembayaran Harga Jual BKP tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena penguasaan atas BKP telah berpindah dari lessor kepada lessee, maka undang-undang menentukan bahwa penyerahan BKP dianggap telah terjadi pada saat perjanjian ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas BKP tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian.
      Dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang PPN serta Pasal 5 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan bahwa jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai antara lain adalah jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa -guna-usaha dengan hak opsi.
      Sebagaimana diketahui, pada awal berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam Pasal 4 ayat (1) antara lain diatur bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP yang dilakukan di daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP tersebut. Transaksi sewa-guna-usaha (leasing) yang diatur pada waktu itu adalah transaksi antara Lessor yang merangkap juga sebagai Pengusaha yang menghasilkan BKP tersebut, sehingga atas penyerahan BKP kepada Lessee harus dikenakan PPN.
      Pada awalnya, dalam transaksi sewa-guna-usaha terjadi transaksi secara garis lurus yaitu antara pabrikan (supplier) dan lessee, namun demikian oleh karena lessee memerlukan barang modal dan supplier memerlukan pembayaran tunai, maka dalam menghadapi tuntutan bisnis tersebut diperlukan jasa keuangan yang menyediakan jasa pembiayaan. Berkenaan dengan hal tersebut, muncul aktivitas jasa keuangan atau jasa pembiayaan yang merupakan jasa lembaga keuangan setara dengan perbankan yang dikenal sebagai lessor, sehingga terdapat sewa-guna-usaha segitiga.
      Lessee yang memerlukan barang modal dengan likuiditas perusahaan yang tidak memungkinkan, menghubungi lessor (perusahaan leasing) untuk membiayai pembelian barang modal tersebut. Lessor dan lessee menandatangani surat perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi (financial leasing). Kemudian perusahaan leasing membuat dan menandatangani perjanjian jual beli barang modal dengan supplier. Secara yuridis, penyerahan barang modal terjadi dari supplier kepada lessor dengan surat-surat bukti kepemilikan barang modal yang atas nama lessor.
      Sebagai pelaksanaan dari Pasal 1 huruf d angka 1 huruf b Undang-Undang PPN 1984, telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.42/1994, yang mengatur bahwa dalam hal lessee Pengusaha Kena Pajak, maka supplier membuat Faktur Pajak Standar atas nama lessor untuk dan atas nama (qq) lessee dengan mencantumkan identitas lessor maupun lessee (nama, NPWP, dan alamat)
      Ketentuan-ketentuan transaksi sewa-guna-usaha (leasing) sebaiknya disesuaikan dengan mekanisme PPN sesuai Undang-Undang dan tidak rumit sehingga mudah untuk dilaksanakan.
      Apabila kita teliti Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN yang menyebutkan bahwa penyerahan BKP dianggap telah terjadi pada saat perjanjian ditandatangani, hal tersebut sepertinya kurang sesuai dengan mekanisme dalam transaksi sewa-guna-usaha dalam prakteknya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 bahwa sepanjang perjanjian sewa-guna-usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal obyek transaksi sewa-guna-usaha berada pada perusahaan pembiayaan.
      Oleh karena hak milik atas barang modal obyek transaksi sewa-guna-usaha berada pada perusahaan pembiayaan (lessor), maka sebaiknya ketentuan Pasal lA ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN diubah dan hanya berlaku terhadap Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli, tidak termasuk leasing. Mengapa demikian, karena atas sewa beli pihak lessee dari awal perjanjian sudah berniat untuk memiliki barang modal tersebut, sedangkan atas perjanjian sewa-guna-usaha (leasing) pihak lessee belum tentu bermaksud memiliki barang modal tersebut kecuali apabila menggunakan hak opsinya.
      Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada akhir masa sewa-guna-usaha (leasing), lessee mempunyai hak opsi untuk membeli barang modal atau memperpanjang/tidak memperpanjang masa sewa-guna-usaha. Dengan adanya hak opsi tersebut menunjukkan bahwa hak kepemilikan masih ada pada lessor. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006.
      Oleh karena itu dalam transaksi Financial Lease, Faktur Pajak yang dibuat oleh supplier atas penyerahan barang modal kepada lessortidak perlu pakai qq lessee. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada supplier akan diperhitungkan sebagai komponen nilai sewa-guna-usaha (lease fee).
      Jika lessee menggunakan hak opsinya maka penyerahan barang modal tersebut merupakan pengalihan BKP dari lessor kepada lessee sebesar nilai sisa buku yang diperjanjikan. Sepanjang lessor tidak termasuk Pengusaha Kecil, maka lessor adalah Pengusaha Kena Pajak dan harus memungut PPN atas pengalihan BKP tersebut.
b. Sales and Lease Back
      Dalam transaksi ini, lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa-guna-usaha antara lessee dengan lessor.

       Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan mengatur bahwa dalam kegiatan sewa-guna-usaha, pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali.
      Dalam Pasal 4 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1441b/KMK.04/1989 tanggal 25 Desember 1989 tentang Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana telah diganti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296/KMK.04/1994 tanggal 27 Juni 1994 juncto butir B.1.1.4 SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994 dinyatakan :
"Tidak termasuk dalam pengertian pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemindahan hak dari lessee kepada lessor dengan cara sale and lease back dengan syarat, barang modal tersebut masih digunakan oleh lessee sebagai Pengusaha Kena Pajak"
     Namun dalam perkembangannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296/ KMK.04/1994 tanggal 27 Juni 1994 tersebut sejak tanggal 1 Januari 1995 dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 643/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemindahtanganan “barang modal”/penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan diatur dalam Pasal 16D Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000).
     Sesuai dengan PSAK Nomor 30 poin b angka 6 untuk standar khusus akuntansi sewa-guna-usaha dengan hak opsi mengenai sales and lease back, transaksi tersebut harus diberlakukan sebagai 2 (dua) transaksi yang terpisah, yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa-guna-usaha. Demikian pula dengan perlakuan Pajak Penghasilan terhadap transaksi sales and lease back sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.42/1992 tanggal 19 Desember 1992 dan Surat Dirjen Pajak Nomor S-133/PJ.33/1995 tanggal 11 September 1995 serta Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996.
     Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 dijelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan secara Sales and Lease merupakan pemindahtanganan hak dengan 2 transaksi yaitu : transaksi penjualan harta dan transaksi sewa-guna-usaha :

  • Pada saat calon Lessee menjual tanah dan/atau bangunan kepada Lessor harus dibayar PPh sebesar 5% dari nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
  • Pada saat Lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli kembali hak atas tanah dan/atau bangunan terutang PPh sebesar 5% dari nilai sisa yang tercantum dalam perjanjian.
     Dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN diatur bahwa jasa di bidang sewa-guna-usaha dengan hak opsi tidak dikenakan PPN. Juga dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diatur bahwa :
"Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi dari Lessor kepada Lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai"
     Memperhatikan ketentuan Pasal 16D Undang-Undang PPN maupun ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006, maka perlakuan perpajakan khususnya PPN atas transaksi sales and lease back adalah sebagai berikut :
  • Penjualan barang modal dari lessee kepada lessor terutang PPN Pasal 16D.
  • Terhadap lease back atau leasing kembali oleh lessee dengan cara leasing biasa diberlakukan ketentuan leasing biasa seperti dijelaskan sebelumnya.
  • Penyerahan jasa (pembiayaan) transaksi SGU dari lessor kepada lessee dikecualikan dari pengenaan PPN
     Dengan demikian dalam hal transaksi Financial Lease dan Sales and Lease Back, Wajib Pajak (lessee maupun lessor) akan lebih mudah dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, setelah Pasal 1A ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 serta SE-10/PJ.42/1994 disesuaikan.