Archives

gravatar

A K U N T A N S I P P N

1. KEWAJIBAN PENCATATAN DALAM PPN
Ø       Ketentuan dasar yang mewajibkan Pengusaha Kena Pajak melakukan pencatatan adalah pasal 6 UU PPN.
Ø       Tujuan pencatatan dalam PPN adalah dapat ditentukannya dasar pengenaan PPN dengan benar.
Ø       Pencatatan dalam PPN harus meliputi:
-       Jumlah harga perolehan atau Nilai Impor.
-       Jumlah harga jual atau nilai penggantian.
-       Nama barang dan satuannya.
-       Jumlah harga jual dari bukan BKP (lihat PowerPoint PPN).
-       Jumlah Nilai Ekspor (PK=0).
-       Jumlah harga jual yang dikenakan PPnBM.

Pencatatan Retur Barang
Ø       Retur penjualan dicatat pada buku penjualan/ekspor dan dianggap sebagai pajak keluaran yang bersifat negatif.
Ø       Retur pembelian dicatat pada buku pembelian/impor dan dianggap sebagai pajak masukan yang bersifat negatif.

Penjualan dalam jumlah kecil
Ø       Penjualan dalam jumlah kecil seperti pengecer, pengusaha roti, dll; pencatatannya dilakukan dengan cara cukup memberi nomor terhadap kas register dalam buku penjualan.
Ø       Bisa dilakukan pencatatan dengan metode tumpuk (batch).

Pengambilan barang dari persediaan
Ø       Biasanya dilakukan untuk tujuan pemakaian sendiri, hadiah, contoh, dll. Kegiatan tersebut masuk dalam pengertian penyerahan BKP dan terutang PPN.
Ø       Dicatat pada buku penjualan/ekspor secara terpisah.

2. SAAT PAJAK TERUTANG
Ø       Penentuan saat dan tempat pajak terutang sangat penting untuk keperluan pembukuan.

Prinsip Akrual
Ø       Saat terutang PPN adalah pada saat penyerahan BKP/JKP.

Prinsip Kas
Ø       Jika penerimaan pembayaran mendahului penyerahan BKP/JKP, maka saat pajak terutang adalah pada saat pembayaran.

Pembuatan Faktur Pajak
Ø       Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya penyerahan BKP/JKP secara keseluruhan.
Ø       Pada saat pembayaran, jika pembayaran mendahului penyerahan.
Ø       Pada saat pembayaran termin diterima.
Ø       Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kpd pemungut PPN.

Cara Pembukuan dalam PPN
Ø       Metode Faktur, artinya PPN dicatat pd saat diterbitkan faktur pajak
-       Pembuatan faktur pajak bisa pada saat penyerahan BKP/JKP atau pada saat pembayaran.
-       Metode faktur pajak biasanya digunakan oleh PKP.
Ø       Metode Kas, artinya PPN dicatat pada saat menerima pembayaran.
-       Metode kas biasanya digunakan oleh non-PKP.


3. TEMPAT PAJAK TERUTANG
Ø       Tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Ø       Tempat kegiatan usaha dilakukan.
Ø       Tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Ø       Tempat BKP dimasukkan ke dalam daerah pabean, dalam hal impor.
Ø       Tempat OP/Badan terdaftar sebagai NPWP, dalam hal pemanfaatan BKP tak berwujud/JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
Ø       Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak atas permohonan tertulis dari PKP.
Ø       Dalam hal kegiatan membangun sendiri, pajak terutang ditempat bangunan didirikan.
Ø       PKP yang memiliki lebih satu tempat usaha dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat pajak terutang secara tertulis kepada Dirjen Pajak.

4. PROSEDUR PEMBUKUAN PPN
Ø       Pembelian BKP; yang harus diperhatikan:
-       PPN-nya dapat dikreditkan atau tidak.
-       Ada potongan harga atau tidak.
-       Ada retur pembelian atau tidak.
-       Apakah pembelian barang untuk diolah (persediaan) atau pembelian barang modal untuk proses produksi.
Ø       Penjualan BKP; untuk beberapa jenis transaksi:
-       Penjualan barang.
-       Retur penjualan.
-       Penjualan dengan uang muka.
-       Penjualan dengan cicilan.
-       Saat perhitungan, pembayaran, dan pembuatan laporan.
Ø       PPN Kurang/Lebih Bayar.

5. PENGUSAHA YANG MEMILIH NORMA PERHITUNGAN
Ø       Tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan.
Ø       Hanya mencatat peredaran bruto setiap bulannya untuk menentukan berapa dasar pengenaan PPN.

gravatar

Pasal 25 dalam RUU KUP

Baru–baru ini diberitakan bahwa departemen keuangan merombak materi Pasal 25 Rancangan Undang – undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang isi dari usulan baru itu antara lain adalah :

Ayat 7 : “Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebelum surat permintaan keberatan disampaikan”

Ayat 8 : “Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”

Ayat 9 : “Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan banding sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% sebagaimana dimaksud pada ayat 8 tidak dikenakan”

Ayat 10 : “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabukan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi admisntrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”

Isi dari usulan perubahan tersebut, cukup membawa angin baru bagi pelaksanaan tata cara perpajakan yang berlaku, tetapi angin baru tersebut tidak selalu angin yang bersahabat. Berbicara tentang angin tentunya ada angin yang sepoi-sepoi yang membuat orang terlena karena kelembutannya ataupun angin kencang yang akan membuat genteng rumah yang berterbangan. Menurut saya perubahan tersebut memiliki kedua-nya baik yang sepoi ataupun yang angin ribut. Kenapa demikian, mari kita bahas secara singkat dalam uraian berikut.

Jika kita lihat isi dari ayat 7 dari RUU tersebut, maka saya sebagai wajib pajak tentunya akan sangat setuju dengan ayat ini. Dalam berbagai pengalaman dari wajib pajak, banyak sekali dari pemeriksaan yang berujung pada keberatan dan akhirnya banding, bahkan tidak mungkin akan berlanjut kepada Peninjauan Kembali. Itupun jika wajib pajaknya tidak bosan dengan waktu yang diperlukan karena paling tidak perlu waktu 24 bulan untuk proses ini. Jika ayat ini dapat disetujui maka paling tidak dari segi cash flow, wajib pajak tidak terlalu terburu-buru dalam menyiapkan dananya, mengingat SKP yang jatuh temponya sebulan (30 hari).

Akan tetapi, bagaimana dengan para fiskus yang menyingkapi hal ini. Jika ayat 7 ini bagi wajib pajak merupakan angin yang sepoi-sepoi tadi maka tidak demikian halnya dengan fiskus. Karena bagi para fiskus ayat 7 ini merupakan angin ribut yang nantinya akan menghalangi aparat pajak dalam mengatasi penerimaan negara. Dengan demikian tentunya akan mengancam DJP dalam memenuhi anggaran yang akan ditetapkan dalam APBN. Kenapa demikian ?

Coba kita bayangkan DJP sebagai suatu perusahaan yang mempunyai piutang/ Account receivable. SKP tersebut merupakan suatu tagihan/invoice kepada Wajib pajak, akan tetapi dalam tagihan tersebut, wajib pajak boleh membayar jumlah SKP yang disetujui-nya saja. Dalam suatu perusahaan kita mengenal adanya aging atas AR-nya, demikian pula dengan DJP atau pemerintah. Dengan adanya ayat 7 ini maka aging piutang DJP yang tadinya mungkin akan berumur lebih muda, sekarang ini sudah pasti umurnya akan menjadi 12 bulan atau lebih. Ditambah dengan kondisi seperti itu tidak ada suatu upaya hukum berupa perangkat enforcement of collection (penagihan dan sita) yang dapat dilakukan. Dan Hal ini tentunya akan makin meningkatkan tunggakan pajak yang selama ini saja memang masih banyak tertunggak.

Kajian dari segi yuiridis fiskal
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan : SKP(KB) dapat dirumuskan sebagai Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi admisnistrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.

SKPKB merupakan suatu produk hukum yang mempunyai kekuatan menagih, yang mana kekuatan menagih tersebut nantinya akan ditindaklanjuti dengan tindakan hukum lainnya, yaitu : surat tegoran, surat paksa dan selanjutnya surat sita, dalam hal wajib pajak tidak membayar jumlah hutang pajak yang seharusya masih harus dibayar. Dengan adanya ayat 7 ini maka kekuatan hukum SKPKB seakan di-delay hingga keberatan diputuskan. Hal yang akan menjadi polemik di dalam ketentuan ini adalah sejauh mana kekuatan menagih atas SKPKB ini nantinya akan berlaku. Apakah hanya sebatas ”invoice” yang sifat payable-nya ditentukan saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan kondisi setuju dan tidak setuju antara fiskus dan wajib pajak. Ataukah Direktorat Jendral Pajak dapat melalukan full collection pada saat wajib pajak kalah di keberatan ataupun di banding ? Dan Bagaimana jika wajib pajak mengajukan upaya hukum lain berupa : peninjauan kembali.

Melihat pada kondisi di atas, maka kiranya RUU di atas perlu didiskusikan secara lebih mendalam sebelum disahkan. Dengan melibatkan pihak yang lebih luas, atau kalo perlu dibuat suatu simulasi ataupun survey kepada wajib pajak. Memang tidak mudah untuk mengatur dua pihak yang mempunyai keuntungan berbeda. Di satu sisi, pengusaha/wajib pajak merasa jika SKPKB harus dibayar, padahal di sisi lain, dalam penetapannya masih banyak permasalahan yang menurut wajib pajak masih ”Grey Area”. Ataupun karena pemeriksa yang tidak memiliki ”findings” dalam pemeriksaannya akhir-nya ”diharuskan” memiliki temuan, dan berakhir dengan SKPKB yang besar tetapi masih diragukan.

Secara garis besar, RUU pasal 25 ayat 7 ini merupakan suatu ayat yang sangat diharapkan oleh para wajib pajak, sesuai dengan kondisi pemeriksaan sekarang ini. Akan tetapi memang perlu cara bagi pihak DJP untuk menyingkapi berkurangnya akselerasi dari penerimaan negara dengan diberlakukannya ayat 7 tersebut.
Demikian uraian singkat dari penulis dalam menyingkapi draft RUU yang diajukan oleh Menkeu, terutama pada ayat 7 tersebut.

Aditya T. Handoko Bwoga - Prime Consulting, 18 Juli 2007

gravatar

Perhitungan PPh Pasal 21

Kita berjumpa lagi dalam Artikel Tips and Trik. Dalam edisi bulan yang lalu telah dibahas tentang Shortcut perhitungan tarif progressive pajak. Penulis berharap artikel tersebut bermanfaat terutama untuk mereka yang baru belajar perpajakan. Dalam tulisan yang kedua ini penulis akan membahas mengenai penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menggunakan metode ”gross-up”. Apakah gross up itu, kita lihat bahasannya dalam tulisan berikut ini.

Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Metode Pemotongannya
Seperti kita ketahui bersama, formula penghitungan pasal 21 secara umum adalah sebagai berikut :
Penghasilan bruto
= xxxxx
Pengurang :
a. Biaya jabatan
b. Iuran pensiun
c. Jamsostek
= (xxxxx)
Penghasilan netto
= xxxxxx
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
= (xxxxx)
Penghasilan kena pajak (PKP)
= xxxxxx
Setelah dikenakan Tarif progressive pajak (5%,10% dst),diperoleh PPh Pasal 21 terutang
= xxxxxx
   Dalam tax payroll method, kita ketahui terdapat 3 macam metode pemotongan pajak, yaitu :
  1. Net method, merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya.
  2. Gross Method, merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
  3. Gross-up method, merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan.
   Dalam artikel ini, penulis tidak akan membahas lebih jauh, point a dan b di atas, akan tetapi lebih menitikberatkan pada point c yaitu Gross-up method.

Gross Up Method
   Sejalan dengan pengertian gross up itu sendiri, pada dasarnya tujuan perhitungan Pasal 21 dengan metode "gross up" hanya untuk menyamakan jumlah pajak yang dibayar dengan jumlah tunjungan pajak yang diberikan perusahaan terhadap karyawannya.
Secara sederhana "gross up" dapat digambarkan sebagai berikut :
Penghasilan
= Y
Tunjangan Pajak (misalkan)
= 5,000
Total penghasilan bruto
= Y+ 5,000
Pengurang :
a. Biaya jabatan
b. Iuran pensiun
c. Jamsostek
= (xxxxx)
Penghasilan netto
= xxxxxx
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
= (xxxxx)
Penghasilan kena pajak (PKP)
= xxxxxx
Setelah dikenakan Tarif progressive pajak (5%,10% dst),diperoleh PPh Pasal 21 terutang
= 5,000
   Dengan demikian ”gross up” dapat diartikan : jumlah tunjangan pajak sama besar dengan jumlah pajak yang akan terhutang.

Formula/Rumus Gross up PPh Pasal 21
Formula gross up PPh pasal 21 terbagi dalam 5 lapisan rentang PKP, sesuai dengan lapisan tarif yang terdapat dalam pasal 17 Undang – Undang Pajak Penghasilan (Tarif Progressive).
Lapisan I : untuk PKP antara Rp. 23,750,000 hingga Rp. 1
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 0 x 5/95 (+) 0
Lapisan II : untuk PKP antara Rp. 46,250,000 hingga >Rp. 23,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 23,750,000 x 10/90 (+) 1,250,000
Lapisan III : untuk PKP antara Rp. 88,750,000 hingga >Rp. 46,250,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 46,250,000 x 15/85 (+) 3,750,000
Lapisan IV : untuk PKP antara Rp.163,750,000 hingga >Rp. 88,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 88,750,000 x 25/75 (+) 11,250,000
Lapisan IV : untuk PKP diatas Rp.163,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 163,750,000 x 35/65 (+) 36,250,000

Aplikasi Formula Gross up dalam Penghitungan Pasal 21
   Jerry, seorang pegawai dengan penghasilan sebesar Rp. 5,000,000 sebulan (take home pay). Status Jerry adalah K/0 (kawin belum memiliki anak). Berapa tunjangan pajak yang harus diberikan, sehingga take home pay yang diberikan tetap Rp. 5,000,000.

Aplikasi rumus gross up (jamsostek ditiadakan agar lebih mudah)
Penghasilan Bruto setahun
= Rp. 60,000,000
Biaya jabatan (setahun)
= Rp. 1,296,000
Penghasilan netto
= Rp. 58,704,000
PTKP
= Rp. 14,400,000
PKP
= Rp. 44,304,000
Tunjangan pajak /PPh pasal 21 terutang (gross up formula lapisan ke II):
Rp. 44,304,000 (–) Rp. 23,750,000 x 10/90 (+) 1,250,000 = Rp. 3,533,777.

Penghitungan Ulang untuk menguji
Penghasilan (sebelum tunjangan pajak)
= Rp. 44,304,000
Tunjangan Pajak
= Rp. 3,533,777
Total PKP
= Rp. 47,837,777
PPh terhutang (tarif pasal 17)
= Rp. 3,533,777
(dengan rumus shortcut : PKP x 10% -1,250,000)

Susunan Ulang dalam Perhitungan pasal 21 akan menjadi :
Penghasilan setahun
= Rp. 60,000,000
Tunjangan Pajak
= Rp. 3,533,777
Total penghasilan bruto
= Rp. 63,533,777
Biaya jabatan (setahun)
= Rp. 1,296,000
Penghasilan netto
= Rp. 62,237,777
PTKP
= Rp. 14,400,000
PKP
= Rp. 47,837,777
PPh terutang :
5% x Rp. 25,000,000 = Rp. 1,250,000
10% x Rp. 22,837,777 = Rp. 2,283,777

Total PPh terutang setahun
= Rp. 3,533,777
PPh terutang sebulan
= Rp. 294,481

   Dari uraian di atas, secara simple dapat dikatakan bahwa tujuan dari gross up di dalam perhitungan pasal 21 adalah untuk mencari tunjangan pajak yang jumlahnya sama dengan pajak yang terutang. Dengan menggunakan rumus ini maka perusahaan dapat membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible expenses, sehingga dapat mengurangi PPh badan perusahaan yang bersangkutan. Dengan catatan, selama di dukung adanya perjurnalan biaya tunjangan pajak di dalam pembukuan wajib pajak serta juga tercantum dalam slip gaji karyawan.
   Demikian penggunaan rumus gross up serta uraian singkat-nya, penulis berharap dapat bermanfaat. Selamat mencoba.

Aditya T. Handoko Bwoga - Prime Consulting, 18 Juli 2007
sumber :http://www.ortax.org/ortax/