Archives

gravatar

Legal tax avoidance vs. criminal tax evasion

The decline in tax revenue through the increase in international tax planning is indeed of great concern for many governments.
It is greed -- and the fear of seeing their deep pockets depleted -- that drives their frenzied attacks against offshore havens, and not a fight against international crime as we are led to believe.
It is the increased use of offshore tax free companies and secretive offshore banking by the general populace that is a major headache for the avaricious high-tax regimes, and not offshore money laundering as they claim.

The offshore exodus

Over half of Europe's top 500 companies have some kind of subsidiary incorporated offshore. About 40% of the companies quoted on the Hong Kong stock exchange are actually domiciled offshore in Bermuda. Multinational companies often create some of the most efficient and ingenious tax mitigation methods through the use of multiple jurisdictions.
More and more investors are sending their hard-earned cash on an offshore holiday and are seeing it work harder for them as a result.
And it's not only multinationals.
Hilary Morison, writing in the mainstream conservative British paper The Daily Telegraph, noted:
"More and more investors are sending their hard-earned cash on an offshore holiday and are seeing it work harder for them as a result.
"Make no mistake, tax evasion, wherever it takes place, is illegal. Tax mitigation, on the other hand, is legal -- and financial advisers reckon it should play an important part in everyone's financial planning."
No wonder the taxman is worried.

Taxman's tactics

Quite predictably, a popular tactic currently in use is to create confusion and blur the line between legal tax avoidance and criminal tax evasion, thus scaring prospective clients of offshore havens into falling back into line.
At the same time, offshore financial centres have been accused of "unfair tax competition" and put under undue pressure to throw out all legislative provisions offering tax breaks and bank secrecy to international investors.

Blurring the line

The Fiscal Affairs Committee of the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) has been at the forefront of the campaign to snuff out "unfair tax competition" at the behest of industrialised world's governments.
Donald Johnston, Secretary-General of the OECD, gave his views on the difference between tax evasion and tax avoidance:
The OECD has been at the forefront of the global campaign against legal tax avoidance.
"I would like to be clear at the outset that the focus of the OECD's work and our discussion today is tax evasion and illegal tax avoidance. I personally was a tax lawyer for many years and I know these definitions can be tricky.
"Tax evasion is easy: it involves breaking the law. By tax avoidance OECD means unacceptable avoidance ... This can be contrasted with acceptable tax planning. What is critical is transparency."
Tax evasion, as Johnston correctly notes, involves breaking the law. It is plainly and simply not paying one's taxes where the law clearly states that they must be paid. It is illegal, and Johnston wastes no time pointing this out.
However, he seems to be reluctant to give a clear definition of tax avoidance.
All good lawyers rely on their books, so to help Johnston out with this "tricky" definition let's seek the answer in the 1995 Oxford Dictionary which defines tax avoidance as "the arrangement of one's financial affairs so that one only pays the minimum amount of tax required by law."
By definition, paying the minimum amount required by law is within the law. It is always legal.

Legal but unacceptable?

In most western democracies, we have come to understand that one's actions can either be within the law, or outside of it -- legal or illegal. This is how civilised societies have functioned for centuries. Yet Johnston's comment suggests that he wishes to introduce an entirely new concept into the legal system: acceptable legality and unacceptable legality.
Johnston isn't alone. In Britain, Dawn Primalo, the Paymaster General, is leading a campaign not dissimilar to the Salem Witchhunts. Primalo has warned of the fires that await those who dare to deprive the public purse of its due with the following sermon:
"There is a limit to what we ... regard as acceptable. And that limit is breached when people take advantage of tax breaks in a way Parliament would not have anticipated ... Those who do so must be prepared for us to ... clamp down ... They must recognise they are playing with fire."

Target: Bank secrecy

Let's once more return to Donald Johnston's view on tax avoidance vs. tax evasion. The following remark deserves attention:
"What is critical is transparency," says Johnston.
Not only a tax lawyer and a politician, the OECD Secretary-General is proving to be a skilled wordsmith.
In Johnston's world, "transparency" should be understood as the right of high-tax governments to access on demand overseas bank records, thus revealing the location of assets that might have escaped their net.
The OECD has committed itself to ending all forms of bank secrecy worldwide.
Up until now, offshore bank secrecy legislation and the unwillingness of offshore financial centres to exchange information have protected the international investor from the clutches of ex-spouses, litigants, political oppressors and tax zealots alike.
The OECD would like to change all that. Under Johnston's direction, the organisation has duly committed itself to ending all forms of bank secrecy worldwide and establishing supranational information exchange protocols.

Source : http://www.offshore-fox.com/

gravatar

When Bad Things Happen to Good Taxpayers


Ketentuan hukum mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat dan yang tidak dapat dikreditkan diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Dalam rangka untuk meyakinkan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pembeli telah disetor dan dilaporkan oleh PKP Penjual, Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Ditjen Pajak) dalam Surat Edaran (SE)-nya akan melakukan prosedur konfirmasi atau klarifikasi. Apabila dari hasil konfirmasi tersebut diketahui bahwa PKP Penjual tidak melaporkan PPN yang telah dipungutnya (Pajak Keluaran) dari PKP Pembeli maka PPN yang telah dibayar (Pajak Masukan) oleh PKP Pembeli tidak dapat dikreditkan. Jadi, persyaratan yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak tentang Pajak Masukan apakah dapat atau tidak dapat dikreditkan dikaitkan dengan Pajak Keluaran-nya apakah sudah disetor atau belum oleh PKP Penjual.

Di saat teknologi informasi yang semakin berkembang dalam membantu administrasi pajak modern seperti e-register, e-filing, e-identity (Single Identity Number), online monitoring payment system, e-mail account petugas pajak, Ditjen Pajak dalam melakukan konfirmasi Pajak Masukan masih menggunakan cara manual yaitu melalui surat menyurat. Tidak dipergunakannya konfirmasi Pajak Masukan secara elektronik oleh Ditjen Pajak karena alasan data Pajak Masukan yang terekam tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya karena sering terlambat direkam. Walaupun Ditjen Pajak sudah menerbitkan SE Nomor 10/PJ.52/2006 yang memberikan sanksi atas keterlambatan perekaman data Pajak Keluaran-Pajak Masukan, tetapi dalam praktik keterlambatan perekaman data masih saja sering terjadi, padahal jumlah PKP yang diawasi “hanya” 580.000 pengusaha (Bisnis Indonesia, 28 Februari 2006).

Di lain pihak, Pengadilan Pajak seperti dapat dilihat dalam putusannya yaitu PUT 02227/PP/M.III/16/2004 memperbolehkan PKP Pembeli untuk tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan-nya walaupun hasil konfirmasi diketahui bahwa Pajak Keluaran-nya tidak dilaporkan oleh PKP Penjual atau dengan kata lain hasil konfirmasi dinyatakan “tidak ada” sepanjang dapat dibuktikan melalui suatu prosedur alternatif (arus barang dan arus uang) PKP Pembeli telah dipungut PPN oleh PKP Penjual.

Kasus di Inggris


Bagaimana dengan tentang persyaratan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan terkait dengan Pajak keluaran-nya tidak disetor oleh PKP Penjual di negara lain? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat disimak kasus Optigen Ltd (C-354/03), Fulcrum Electronics Ltd (C-355/03), Bond House Systems Ltd (C-484/03).

Optigen, Fulcrum, dan Bond House adalah perusahaan (PKP) yang melakukan kegiatan perdagangan. Dalam suatu tahun, perusahaan tersebut membeli komputer dari perusahaan yang didirikan di Inggris untuk kemudian diekspor ke negara lainnya. Ketiga perusahaan tersebut membayar PPN atas pembelian komputer. Oleh karena komputer tersebut diekspor ke negara lain, maka ketiga perusahaan tersebut mengajukan permohonan restitusi atas Pajak Masukan yang telah mereka bayar. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata Pajak Masukan yang telah dibayarkan oleh ketiga perusahaan tersebut tidak disetorkan ke kas negara oleh perusahaan yang menjual komputer (PKP Penjual). Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka permohonan restitusi ketiga perusahaan tersebut ditolak oleh Otoritas Pajak di Inggris (Commissioners) karena telah terjadi Carousel Fraud.

Atas putusan tersebut Optigen dan Fulcrum mengajukan banding ke VAT and Duties Tribunal, London dan Bond House ke VAT & Duties Tribunal, Manchester. Akan tetapi, putusan dari kedua pengadilan tersebut menyatakan bahwa putusan Commissioners sudah benar. Argumentasi yang diberikan oleh pengadilan tersebut bahwa ketiga perusahaan tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayarkan karena perusahaan komputer (PKP Penjual) melakukan kecurangan yaitu tidak menyetorkan PPN yang telah ia pungut dari ketiga perusahaan tersebut, walaupun ketiga perusahaan yang membeli komputer tersebut (PKP Pembeli) tidak mengetahui atau tidak terlibat dalam kecurangan tersebut.

Atas putusan tersebut, Optigen, Fulcrum, dan Bond House mengajukan banding ke High Court of Justice of England and Wales, Chancery Division. Putusan yang diterbitkan adalah hak PKP Pembeli untuk mengkreditkan Pajak Masukan tidak boleh dikaitkan dengan kecurangan yang dilakukan oleh PKP Penjual yang tidak menyetorkan PPN yang telah dipungutnya ke kas negara karena PKP Pembeli tidak terlibat atas kecurangan tersebut.

Kesimpulan

PPN adalah merupakan pajak tidak langsung. Dengan demikian, dari sisi yuridis formal membawa konsekuensi logis bahwa apabila PKP Pembeli telah dipotong PPN-nya oleh PKP Penjual maka pada dasarnya sama dengan telah membayar PPN tersebut ke kas negara. Oleh karena itu, jika PKP Penjual tidak menyetorkan PPN yang telah ia pungut, maka Otoritas Pajak seharusnya meminta pertanggungjawaban kepada PKP Penjual dan bukan PKP Pembeli. Dengan kata lain, sepanjang Wajib Pajak telah dipungut PPN-nya oleh PKP Penjual maka hak Wajib Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan-nya seharusnya tidak dikaitkan dengan ada atau tidak ada-nya jawaban konfirmasi. 

Darussalam dan Danny Septriadi - Danny Darussalam Tax Center, 2 Oktober 2007 
Sumber :http://www.ortax.org/ortax/

gravatar

AKUNTANSI PENGGABUNGAN USAHA


Harga Perolehan atau Harga Penjualan dalam Hal Terjadi Pengalihan Harta Karena Hibah, Bantuan atau Sumbangan, dan Warisan
Apabila terjadi pengalihan harta karena hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan oleh badan keagamaan atau badan  pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan bantuan atau sumbangan, dengan syarat hibah, bantuan atau sumbangan tersebut tidak dalarn rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, serta warisan, maka dasar penilaian atau nilai perolehan bagi pihak yang menerima pengalihan harta adalah:
1.              Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan
              Nilai perolehan adalah sama dengan nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan Direktur Jendral Pajak. Dengan demikian, yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan haurf b Undang-Undang PPh. Apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar.
2.              Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan
              Dalam hal Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan sebagai berikut :
a.              Apabila nilai atau harga perolehan bagi yang mengalihkan harta  berupa tanah dan atau bangunan tidak dapat diketahui, namun tahun perolehannya diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah :
1.) Apabila tanah dan atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan dalam tahun 1986 atau sebelumnya, adalah sama besarnya dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tahun pajak 1986 atau
2.) Apabila tanah dan atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan sesudah tahun 1986, adalah sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut bagi yang mengalihkan; atau
3.) Apabila SPPT PBB tidak ada, adalah berdasarkan surat keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP Pratama)
b.              Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yang mengalihkan harta berupa tanah dan atau bangunan tidak diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pa)ak yang paling awal yang tersedia atas nama yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP Pratama)
c.              Untuk harta selain tanah dan atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan bagi yang mengalihkan harta tersebut tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah sama besarnya dengan 60% (enam puluh persen) dan harga pasar wajar harta tersebut pada saat terjadinya pengalihan.

Perolehan atau Harga Penjualan dalam Hal Terjadi Pengalihan Harta Termasuk Setoran Tunai yang Diterima oleh Badan Sebagai Pengganti Penyertaan Modal
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta. Apabila terjadi pengalihan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai pasar dan harta yang dialihkan tersebut.

PEROLEHAN ASET MEMBANGUN SENDIRI
Harga perolehan aset tetap yang dibangun sendiri meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sehubungan pembangunan hingga siap pakai. Kemungkinan masalah yang timbul meliputi pembebanan biaya tidak langsung dengan alokasi secara proporsional, dan bunga selama masa konstruksi dan penghematan biaya. IJntuk kepentingan perpajakan perlakuan akuntansi tetap dapat diikuti, tetapi bunga selama masa kontruksi (pembangunan) akan dikapitalisasi yang nantinya secara bertahap dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan. Masalah penghematan biaya misalnya dengan membangun sendiri menjadi lebih murah, selisihnya tidak diakui sebagai penghasilan. Sedangkan kerugian akibat nilai bangunan menjadi lebih tinggi diakui sebagai beban kerugian.

METODE PENYUSUTAN SESUAI KETENTUAN  PERPAJAKAN
Aset tetap kecuali tanah akan makin berkurang kemampuannya untuk memberikan jasa bersamaan dengan berlakunya waktu. Jumlah yang dapat disusutkan dialokasikan ke setiap periode akuntansi selama masa manfaat aset dengan berbagai metode yang sistematis dan diterapkan secara konsisten/taat asas, tanpa memandang tingkat profitabilitas perusahaan dan pertimbangan perpajakan, agar dapat menyediàkan daya banding hasil afiliasi perusahaan dan periode ke periode penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti yang telah dijelaskan pada uraian terdahulu. Metode penyusutan menurut Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
1.              Metode garis lurus (straight line method), atau metode saldo menunrun (declining balance method) untuk aset tetap berwujud bukan bangunan.
2.              Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan.

gravatar

PENYUSUTAN ASET TETAP

PSAK No. 17 (2007), yang dimaksudkan penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusutan dilakukan terhadap aset tetap berwujud dengan syarat aset tetap berwujud tersebut:
1.              Diharapkan digunakan selama lebih dari satu periode akuntansi;
2.              Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas; dan
3.              Ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau memasok barang dan jasa untuk disewakan, atau untuk tujuan administrasi

Penyusutan atau jumlah disusutkan (depreciable amount) adalah biaya perolehan suatu aset atau jumlah lain yang disubstitusikan untuk biaya dalam laporan keuangan dikurangi nilai sisa.
Dalam pengaturan penyusutan tersebut, persyaratan aset yang dapat disusutkan menurut ketentuan perpajakan meliputi:
1.              Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud,
2.              Harta tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
3.              Harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Terdapat pula aset tetap yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut
akuntansi pajak tidak dapat disusutkan, yaitu:
1.              Aset tetap perusahaan berupa kendaraan yang dikuasai dan dibawa pulang pegawai, termasuk juga yang ada di daerah terpencil.
2.              Aset tetap perusahaan berupa rumah yang terletak bukan di daerah terpencil yang ditempati pegawai yang tidak diberi tunjangan oleh perusahaan.

METODE PENYUSUTAN SESUAI KETENTUAN KOMERSIAL
Dalam praktik akuntansi komersial metode penyusutan dapat digunakan sesuai pengelompokan menurut kriteria:
1.               Dasar waktu
a.              Metode garis lurus (straight line method)
Dalam metode ini, biaya penyusutan dialokasikan berdasar berjalannya waktu, dalam jumlah-jumlah yang sama selama masa manfaat asset tetap berwujud tersebut.
              Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Perhitungan
Cara penghitungan persentase penyusutan dapat dengan mudah dilakukan apabila diketahui masa manfaat. Masa manfaat aset tetap selama 5 tahun maka:

Tarif penyusutan 100 = 20%
                                  5
Aset tetap harga perolehan: Rp 300.000.000
Besarnya penyusutan = 20% x Rp 300.000.000 = Rp 60.000.000

Saat penyusutan ayat jurnal yang disusun:
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Biaya penyusutan
           Akumulasi penyusutan asset tetap
60.000.000


60.000.000

Daftar penyusutan secara rinci selama 5 tahun sebagai berikut:
Th
Harga Perolehan
Biaya Penyusutan
Ak. Penyusutan

NiLai Sisa Buku

1
300.000.000
60.000.000
60.000.000
240.000.000
2
300.000.000
60.000.000
120.000.000
180.000.000
3
300.000.000
60.000.000
180.000.000
120.000.000
4
300.000.000
60.000.000
240.000.000
60.000.000
5
300.000.000
60.000.000
300.000.000
0
b. Metode Pembebanan Menurun
1.)               Metode jumlah angka tahun (sum of the year digit method)
Metode ini sering disebut metode jumlah angka tahun yang akan menghasilkan jumlah penyusutan yang semakin menurun dari tahun ke tahun.
              Dengan rumusan:
              Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Penghitungan Penyusutan
              Dasar Penghitungan Penyusutan = Harga Perolehan -/- Nilai Residu
Tarif penyusutan ditetapkan dengan pecahan, yaitu pembilang adalah angka tahun yang ada selama masa manfaat aset tetap, sebagai contoh 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya, sedangkan pembilang untuk tahun pertama adalah penjumlahan angka tahun sampai dengan angka tahun terakhir. Sebagai contoh, apabila masa manfaat hanya 5 tahun, maka penjumlahannya (1 + 2 + 3 + 4 + 5) = 15. Penghitungan penyusutan dapat dilakukan:
              Harga perolehan aset tetap                                           Rp 300.000.000
              Nilai residu                                                                      Rp 45.000.000
Masa manfaat 5 tahun
              Penyusutan tahun:
              Ke 1 = 5/15 x (Rp 300.000.000 - Rp 45.000.000)              = Rp 85.000.000
              Ke 2 = 4/15 x (Rp 255.000.000)                                          = Rp 68.000.000
              Ke 3 = 3/15 x (Rp 255.000.000)                                          = Rp 51.000.000
              Ke 4 = 2/15 x (Rp 255.000.000)                                          = Rp 34..000.000
              Ke 5 = 1/15 x (Rp 255.000.000)                                          = Rp 17.000.000
Daftar penyusutan selama 5 tahun sebagai berikut:
Th
Harga Perolehan
Tarif Penyusutan
Biaya Penyusutan
Ak. Penyusutan
Nilai Sisa Buku

1
300.000.000
5/15
85.000.000
85.000.000
215.000.000
2
300.000.000
4/15
68.000.000
153.000.000
147.000.000
3
300.000.000
3/15
51.000.000
204.000.000
96.000.000
4
300.000.000
2/15
34.000.000
238.000.000
62.000.000
5
300.000.000
1/15
17.000.000
255.000.000
45.000.000
2.) Metode saldo menurun/saldo menurun ganda (declining/double declining balance method)
Dalam metode ini, besarnya biaya penyusutan semakin lama menjadi lebih kecil dari tahun ke tahun, dengan dasar pemikiran bahwa kapasitas asset tetap dalam memberikan jasanya dari tahun ke tahun semakin menurun.
              Penghitungan biaya penyusutan dapat dirumuskan:
              Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Penghitungan Penyusutan
Dasar Penghitungan Penyusutan = Harga Sisa Buku Awal Periode
Pada umumnya, tarif penyusutan adalah dua kali tarif penyusutan apabila menggunakan metode ganis lurus tanpa memerhatikan nilai residu (recidual value) sebagaimana contoh yang lalu:
              Harga perolehan aset tetap              Rp 300.000.000
              Nilai residu                                          Rp 40.000.000,00
Persentase penyusutan dengan metode garis lurus 20%
Persentase penyusutan dengan metode saldo menurun = 2 x 20% = 40%
Biaya penyusutan tahun pertama = 40% x Rp 300.000.000 = Rp 120.000.000
Biaya penyusutan tahun kedua = 40% (Rp 300.000.000 - Rp 120.000.000)               = Rp 72.000.000,00
Demikian selanjutnya untuk tahun berikutnya sampai dengan akhir masa manfaat.
              Daftar Biaya Penyusutan akan tampak sebagai berikut:
Th
Harga Perolehan
Biaya Penyusutan
Ak. Penyusutan

Nilai Sisa Buku

1
300.000.000
120.000.000
120.000.000
180.000.000
2
300.000.000
72.000.000
192.000.000
108.000.000
3
300.000.000
43.200.000
235.200.000
64.800.000
4
300.000.000
25.920.000
261.120.000
38.800.000
5
300.000.000
(1.120.000)
260.000.000
40.000.000
Dan perhitungan di atas pada awal tahun ke 5, terdapat persoalan yaitu nilai sisa buku Rp 38.880.000 tidak dapat digunakan dasar penghitungan biaya penyusutan tahun ke 5, karena aset tetap yang bersangkutan tidak boleh disusutkan yang mengakibatkan nilai sisa buku di bawah nilai residu. Hal mi dapat dibuktikan sebagai berikut:
Penyusutan tahun ke-5 = 40% x Rp 38 880.000 = Rp 15.552.000
Nilai sisa buku tahun ke-5
= [Rp 300.000.000 - akumulasi penyusutan]
=[Rp 300.000.000 - (Rp 261.120.000 + Rp 15.552.000)]
= [Rp 300.000.000 — Rp 276.672.000] = Rp 23.328.000.
Namun demikian, karena telah ditetapkan bahwa nilai residu ke-5 adalah sebesar Rp 40.000.000 maka perlu dilakukan terhadap biaya penyusutan yang telah dicatat, yaitu pengurangan biaya sebesar Rp 1.120.000.
2.              Dasar penggunaan
a.              Metode jam jasa (service hours method)
Pada metode ini besarnya penyusutan dihitung dengan mendasarkan teori bahwa pembelian aset tetap ditunjukkan dari jumlah jam jasa langsung dan dalam metode ini mengakui estimasi masa manfaat asset yang diukur dalam jam jasa.
Contoh, berdasarkan data aset tetap yang digunakan menunjukkan estimated service life sebesar 20.000 jam, harga perolehan aset Rp 100.000.000 dan nilai residu Rp 5.000.000.
Tarif penyusutan per jam dihitung:
Tarif penyusutan per jam = Harga perolehan – Nilai Residu
                                                               Estimated Service life

Tarif penyusutan per jam = Rp 100.000.000 – Rp 5.000.000
                                                                      20.000
                                                        =Rp 4.750
Apabila aset tersebut manfaatnya 5 tahun dengan jam jasa yang telah diketahui maka daftar biaya penyusutan akan tampak:
Th
Harga Perolehan
Jasa
Biaya Penyusutan
Akumulasi Penyusutan
Nilai Sisa Bulan
1
100.000.000
3.000
3.000X4.750=14.250.000
14.250.000
85.750.000
2
100.000.000
5.000
5.000X4.750=23.750.000
38.000.000
62.000.000
3
100.000.000
5.000
5.000X4.750=23.750.000
61.750.000
38.250.000
4
100.000.000
4.000
4.000X4.750=19.000.000
80.750.000
19.250.000
5
100.000.000
3.000
20.000
3.000X4.750=14.250.000
                       95.000.000
95.000.000
5.000.000
b.              Metode unit produksi (productive output method)
Dalam metode unit produksi taksiran manfaat dinyatakan dalam kapasitas produksi yang dapat dihasilkan. Kapasitas produksi ini dapat pula dinyatakan dalam bentuk jam pemakaian atau urut-urut kegiatan lainnya. Perhitungan besarnya biaya penyusutan dapat dirumuskan:
Tarif Penyusutan = Kapasitas sebenarnya
                                                        Kapasitas produksi
              Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan X Dasar Penyusutan
Dasar Penyusutan = Harga Perolehan – Nilai Residu

Contoh :
Aset tetap berupa mesin harga perolehannya Rp 300.000.000. Nilai Residu pada akhir tahun ke-5 sesuai masa manfaatnya Rp 40.000.000. Mesin diperkirakan dapat menghasilkan 20.000.000 unit produksi. Besarnya tarif penyusutan dihitung tahun pertama dengan produksi sebenarnya 3.000.000              unit.
              Tarif penyusutan = 3.000.000 X 100% = 15%
                                                20.000.000
              Biaya Penyusutan = 15% ( Rp 30.000.000 – Rp 40.000.000) = Rp 39.000.000
Demikian pula selanjutnya untuk tahun kedua sampai dengan tahun ke-5. Besarnya penyusutan akan bervariasi karena sangat bergantung pada produksi sebenarnya yang dapat dihasilkan oleh mesin tersebut.
Daftar biaya penyusutan selama 5 tahun :
Th
Harga Perolehan
Jasa
Tarif
Biaya Penyusutan
Akumulasi Penyusutan
Nilai Sisa Bulan
1
300.000.000
3.000.000
2/20X100%=15%
39.000.000
39.000.000
261.000.000
2
300.000.000
5.000.000
5/20X100%=25%
65.500.000
104.000.000
196.000.000
3
300.000.000
5.000.000
5/20X100%=25%
65.000.000
169.000.000
131.000.000
4
300.000.000
4.000.000
4/20X100%=20%
52.000.000
221.000.000
79.000.000
5
300.000.000
3.000.000
20.000.000
3/20X100%=15%
39.000.000
260.000.000
260.000.000
40.000.000

3.              Dasar kriteria lainya
Menggunakan dasar kriteria lainnya bahwa biaya penyusutan dapat dihitung dengan dasar jenis dan kelompok. Pengelompokan ini dikenali dalam kelompok atau dalam perpajakan dikenali dengan golongan 1, golongan 2, golongan 3, dan golongan bangunan. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengelompokkannya ke dalam “Bukan Bangunan” dan kelompok “Bangunan”. Akuntansi komersial mengelompokkan aset berdasarkan masa manfaat. 
Contoh:             
Aset tetap yang dibeli terkelompokkan ke dalam aset tetap yang masa manfaatnya 5 tahun dan seterusnya. Apabila PT Maju mempunyai 5 truk dengan nilai perolehan dan nilai residu sesuai daftar berikut ini, penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus. Alokasi biaya penyusutan tampak:
a. Daftar biaya penyusutan truk
b. Dasar penyusunan kelompok
Masa Manfaat 5 Tahun
Truk Ke
Harga Perolehan
Jumlah Yang dapat disusutkan
Nilai residu
1
150.000.000
140.000.000
10.000.000
2
150.000.000
140.000.000
10.000.000
3
200.000.000
180.000.000
20.000.000
4
200.000.000
180.000.000
20.000.000
5
100.000.000
90.000.000
10.000.000

800.000.000
730.000.000
70.000.000

                                                                      1                         
Tarif penyusutan Grup = Taksiran rata-rata umur grup aset             

Apabila taksirn rata-rata umum grup aset tetap 5 tahun.
Tarif penyusutan grup = 1/5 x 100% = 20%.
Biaya penyusutan setiap tahun = 20% x Rp 730.000.000 = Rp 146.000.000

Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan telah menjelaskan tentang pengeluaran -pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan tidak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Pasal 9 ayat (2), pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, sebagai contoh sewa untuk beberapa tahun yang dibayarakan sekaligus pembebananya akan dilakukan melalui alokasi-alokasi per tahun.

Penyusutan menurut akuntansi pajak ini tidak mempertimbangkan nilai sisa (residual value), sehingga diartikan bahwa seluruh harga perolehan tersebut disusutkan. Sebenarnya banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh asset tetap telah disampaikan dalam akuntansi konvensional. Tetapi dapat teridentifikasi bahwa aset tetap dapat diperoleh melalui:
1. pembelian baik secara tunai kredit atau angsuran,
2. leasing (sewa guna usaha),
3. pertukaran dengan sekuritas atau dengan aset lainnya,
4. penyertaan modal,
5. membangun sendiri,
6. hibah atau pemberian,
7.bangun guna serah (built operate and transfer—BOT).

Pasal 10 Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan mengatur penetapan harga perolehan atau harga penjualan dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung laba atau rugi apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan menghitung dan penjualan barang dagangan. Dalam menentukan harga perolehan atau harga penjualan, suatu harta dapat dikelompokkan menjadi:
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta.
2. Harta perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta.
3. Harta perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau  pengambilalihan usaha.
4. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta karena hibah, bantuan, atau sumbangan, dan warisan.
5. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal.

HARGA PEROLEHAN ATAU HARGA PENJUALAN DALAM HAL TERJADI JUAL BELl HARTA
Harta perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta ditentukan sebagai berikut:
1.               Yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa:
a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga yang sesungguhnya dibayar;
Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.
b.              Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima.
2.               Yang dipengaruhi hubungan istimewa:
a.               Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga jumlah yang seharusnya dikeluarkan;
b.              Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima.

HARGA PEROLEHAN ATAU HARGA PENJUALAN DALAM HAL TERJADI TUKAR-MENUKAR HARTA
Dalam hal terjadi transaksi tukar menukar harta dengan harta lain, maka nilai perolehan atau nilai penjualan harta tersebut adalah:
1.              Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar;
2.              Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang berdasarkan harga pasar (Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PPh)

HARGA PEROLEHAN ATAU HARGA PENJUALAN DALAM HAL TERJADJ PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA LIKUIDASI, PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PEMEKARAN, PEMECAHAN ATAU PENGAMBILAN USAHA
Apabila terjadi pengalihan harta, penhlaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambil alihan usaha. Di samping itu, pengalihan tersebut dapat pula dilakukaiuk dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya. Untuk memudahkan pembahasan perlu diketahui istilah:
1.              Penggabungan usaha adalah penggabungan dan dua badan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
2. Peleburan adalah penggabungan dan dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
3. Pemekaran usaha adalah pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian asset dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut, yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah:
1.              Jumlah yang seharusnya dikeluarkañ atau diterima berdasarkan harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan.
Contoh:
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dan kedua badan tersebut adalah sebagai berikut:
                                                                         PT A                                                              PTB
              Nilai sisa buku                            Rp 200.000.000                            Rp 300.000.000
              Harga pasar                            Rp 300.000.000                            Rp 450.000.000

Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dan harta. Dengan demikian, PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000 - Rp 200.000.000) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000 (Rp 450.000.000 - Rp 300.000.000). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000 (Rp 300.000.000+ Rp 450.000.000). Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter, dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (dengan menggunakan metode “pooling of interest”). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dan PT A dan PT B tersebut sebesar: Rp 200.000.000 + Rp 300.000.000 = Rp 500.000.000.
2.              Penggunaan Nilai Buku
Secara umum, penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha akan melibatkan pihak yang mengalihkan harta dan pihak yang memperoleh harta. Sesuai Akuntansi Komersial, metode yang digunakan dalam konsolidasi adalah :
a. Penyatuan kepentingan (pooling of interest)
              b. Pembelian (purchase)
Dalam akuntansi perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method) atau berdasarkan harga pasar, sedang metode penyatuan kepentingan dapat digunakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan yang diacu yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK 04/1998 Tanggal 9 September 1998 yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 469/KMK 04/1998 Tanggal 30 Oktober 1998 dan terakhir diubah dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999. Pengaturan tersebut meliputi:
1.              Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku dalam pengalihan harta menurut keputusan Menteri Keuangan tersebut adalah:
a.              Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha.
b. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha, yang akan “Go Public” dengan melakukan penawaran umum perdana (initial public offering—IPO) di bursa efek.
2.              Wajib Pajak yang menggunakan nilai buku dalam pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha diatas wajib memenuhi syarat:
a.              Mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Permohonan izin diajukan kepada Kanwil DJP yang membawahi KKP wajib pajak terdaftar selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan, yaitu dalam hal :
1.) Penggabungan atau peleburan, diajukan oleh Wajib Pajak menerima pengalihan harta.
2.) Pemekaran usaha, diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta.
Jika Wajib Pajak terlambat mengajukan permohonan, maka tidak akan dipertimbangkan. Sebaliknya bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonannya telah memenuhi syarat (setelah penelitian dari konfirmasi) akan menerima surat keputusan persetujuan selambat-lambatnya satu bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Sebaliknya bila terdapat penolakan, maka akan disertai pula alasan penolakan. Pihak yang memberikan persetujuan adalah kepala Kanwil atas nama Direktur Jenderal Pajak.
b.              Telah melunasi seluruh utang pajak dari setiap badan usaha yang terkait termasuk cabang/perwakilan yang terdaftar di KPP-KPP lokasi.
c.              Laporan keuangan Wajib Pajak khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta harus diaudit oleh Akuntan Publik.
3.              Sisa Kerugian Fiskal
a.              Bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dapat mengalihkan kerugian/sisa kerugian fiskal, termasuk kerugian selisih kurs badan usaha lama yang belum dikompensasikan dengan syarat:
1.)              Wajib Pajak badan usaha lama harus melakukan revaluasi aset tetap terlebih dahulu, menurut ketentuan yang berlaku; dan
2.) Wajib Pajak badan usaha yang lama dalam kondisi aktifmenjalankan kegiatan usahanya; dan
3.) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta harus tetap aktif menjalankan kegiatan usahanya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha.
b.              Revaluasi aset tetap yang dimaksud tersebut meliputi sebagian atau seluruh aset tetap sesuai dengan keperluan untuk mengompensasikan kerugian fiskal semaksimal mungkin dengan selisih lebih revaluasi aset tetap yang dihasilkan.
c.              Kemungkinan terjadi kompensasi timbal balik (offset) utang piutang di antara Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, maka:
1.)              Penghapusan utang bagi pihak debitor bukan merupakan penghasilan.
              2.) Penghapusan piutang bagi pihak kreditor bukan merupakan biaya.
4.              Persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
              Jika pengalihan harta menggunakan nilai buku ternyata tidak mendapat  persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan harta harus dinilai dengan harga pasar dan atas keuntungan yang diperolehnya dikenakan PPh. Demikian sebaliknya, jika pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku telah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka Wajib Pajak yang meneiima pengalihan harus mencatat nilai perolehannya sesuai dengan nilai buku yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan buku. Bagi Wajib Pajak yang sebelum penggabungan, peleburan, atau pemekaran telah melakukan revaluasi aset tetap, maka nilai buku yang dicatat adalah nilai buku setelah dilakukan revaluasi.
5.              Penyusutan dan Amortisasi.
              Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku di mana pengalihan harta terjadi, dilakukan secara prorata (perhitungan bulanan) yang didasarkan pada masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. Penyusutan dan amortisasi tersebut dihitung secara prorata sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan harta. Sedang dan pihak yang menerima pengalihan perhitungan prorata sebanyak sisa bulan setelah bulan pengalihan dengan menggunakan metode penyusutan dan amortisasi yang dianut Wajib Pajak yang bersangkutan.
6.               Pajak Penghasilan Pasal 25.
              Kemungkinan penggabungan atau peleburan usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, maka PPh Pasal 25 Wajib Pajak yang menerima pengalihan, setelah penggabungan atau peleburan usaha tidak boleh lebih dari penjumlahan PPh Pasal 25 dan seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan atau peleburan usaha. Apabila Wajib Pajak yang menerima pengalihan yaitu setelah penggabungan atau peleburan mengalami penurunan usaha, maka Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan pengurangan PPh Pasal 25.
7.              Kewajiban Menyampaikan SPT
Kewajiban menyampaikan SPT Masa atau Tahunan PPh bagi W ajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dalam tahun berjalan diatur :
a.              Kewajiban formal menyampaikan SPT Masa atau Tahunan PPh bagi wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha berakhir sampai dengan masa pajak/bagian tahun pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha.
b. Kewajiban formal menyampaikan SPT Masa atau Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka manerima pengalihan harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di KPP segera setelah pendirian badan usaha baru.
8.              Surat Ketetapan Pajak
Pemeriksaan pajak yang dilakukan setelah penggabungan atau peleburan terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta yang menyangkaut tahun pajak sebelum tahun terjadinya penggabungan atau peleburan, maka surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan serta tindakan penagihan dan atau restitusinya diterbitkan atas nama dan NPWP badan usaha lama yang melakukan pengalihan harta qq nama dan NPWP badan usaha baru yang menerima pengalihan harta.
9.              Penjualan Saham di Bursa Efek Jakarta
Ketentuan Wajib Pajak yang akan menjual sahamnya di bursa efek dalam rangka pemekaran usaha:
a.              Selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku, harus sudah mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.
b.              Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat diperpanjang karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang paling lama 2 (dua) tahun.
c.              Apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b Wajib Pajak belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan dan Direktur Jenderal Pajak.
d.              Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c tersebut, maka nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

Sedangkan ketentuan bagi pemegang saham dan badan usaha lama yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha:
a.              Apabila pemegang saham dan badan usaha lama yang melakukan pengalihan harta menerima sejumlah saham baru dan badan usaha yang menerima pengalihan harta sebagai pengganti saham lama, maka atas  penerimaan saham baru tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan dan nilai perolehan saham baru dicatat sebesar nilai saham lama.
b.              Apabila pemegang saham dan badan usaha lama yang melakukan pengalihan harta menerima sejumlah saham baru dan sejumlah uang dan badan usaha yang menerima pengalihan harta sebagai pengganti saham lama, maka penerimaan sejumlah uang tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan Paj ak Penghasilan dengan tarif umum.
c.              Apabila pemegang saham daribadan usaha lama yang melakukan pengalihan harta tidak setuju dengan rencana pengalihan harta tersebut dan pemegang saham dimaksud memilih menjual sahamnya, maka:
1.)              atas selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual merupakan capital gain yang diterima pemegang saham tersebut dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.)              atas selisih kurang antara harga perolehan dengan harga jual yang diterima pemegang saham tersebut dapat dibebankan sebagai biaya, dengan syarat sepanjang pemegang saham yang bersangkutan menyelenggarakan pembukuan.
10.              Pengecualian
              Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud butir 1 dan 2 di atas dikecualikan dan pengenaan PPh apabila pengalihan hartanya berupa tanah dan atau bangunan.