Archives

gravatar

Pajak untuk Peningkatan Perbaikan Lingkungan

Pajak lingkungan (green tax) adalah salah satu langkah konkret pemerintah dalam merespons isu kerusakan lingkungan. Konsep pajak, seperti yang diketahui oleh banyak pihak, memiliki empat fungsi utama, yaitu fungsi budgeting, (mengumpulkan dana dari masyarakat untuk kegiatan bernegara), fungsi regulatory (fungsi bagi memerintah untuk mencapai tujuan tertentu), fungsi stabilitas (terkait tujuan pemerintah untuk menstabilkan harga dalam kondisi tertentu, misalnya, saat inflasi, dan lainnya), dan fungsi pemerataan pendapatan (pajak digunakan sebagai sarana peningkatan kesempatan kerja yang nantinya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat). Terdapat dua wacana umum mengenai konsep pajak lingkungan, yaitu konsep penerapan pajak lingkungan dan pemberian kredit pajak. Dengan pajak lingkungan, artinya setiap perusahaan yang memperparah kondisi lingkungan akan dikenakan pungutan wajib (the polluter pays principle). Konsep ini tentu saja menuai banyak kontroversi terutama dari kalangan pengusaha. Apalagi perhitungan pajak yang dikenakan berasal dari jumlah biaya produksi. Hal ini akan menjadi pos pengeluaran baru di samping biaya-biaya lingkungan seperti biaya pemeriksaan amdal yang telah diterapkan sebelumnya. Efeknya, biaya produksi akan naik, keuntungan menurun, dan efek multiplier lainnya.
Pemberian kredit pajak (tax credit) atau bisa juga disebut Green Incentive belum dibahas lebih lanjut dalam RUU. Namun secara logika, dengan diberikannya kredit pajak pada orang-orang yang mengonsumsi barang-barang ramah lingkungan akan membentuk suatu komunitas masyarakat konsumen hijau yang rela mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk membeli barang-barang ramah lingkungan. Contohnya saja di Inggris, 81% masyarakatnya hanya bersedia membeli produk yang aman lingkungan, sedangkan 75% konsumen di Australia bersedia membayar lebih mahal produk-produk sejenis.
Di Amerika Serikat, kesadaran masyarakat terhadap jumlah pembayaran pajak sudah tinggi. Maka pemberian kredit pajak dan penambahan deductible expense sangatlah efektif. Contohnya jika ada pengusaha yang membeli mobil hibrida atau kendaraan yang memakai tenaga listrik, diberikan kredit pajak lebih, misalnya 30% dari harga mobil dengan batasan maksimal pengurangan 10 juta. Selain itu, untuk mobil tersebut diberikan amortisasi penuh.
Demikian juga pengguna solar cell akan diberi amortisasi penuh, dan dipercepat agar dapat menambah deductible expense yang ada. Bagi konsumen AC non-CFC diberikan pengurangan pajak sebesar 10% dari harga AC, dan sebagainya. Dalam penggunaan SPT pajak pun, di AS dipakai e-SPT untuk mengurangi kapasitas penggunaan kertas. Masih banyak bentuk penambahan deductible expense yang menguntungkan bagi para pengguna barang ramah lingkungan. Namun, hal ini akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak, dan sulit untuk Indonesia mengurangkan pendapatan pajaknya. Pasalnya, fungsi pajak yang paling dominan adalah fungsi anggaran.
Peran pajak masih sebatas pada fungsi pengumpulan dana dari masyarakat untuk mengakomodasi fungsi pembiayaan negara sehingga peran strategis lain belum dapat diselenggarakan dengan optimal karena masih mengedepankan fungsi 'pencarian' uang. Sementara itu, pemilihan langkah untuk mengatasi kerusakan lingkungan juga terkait dengan political will dari pemerintah itu sendiri. Sejatinya cara-cara mengatasi krisis lingkungan hidup global juga terkungkung dalam skema geopolitik kapitalisme. Harus ada keinginan kuat dari pemerintah untuk terus melakukan cara-cara perbaikan lingkungan.
Apabila pajak lingkungan benar-benar diterapkan, sebaiknya pemerintah pusat atau daerah dapat memberlakukan green tax atau pajak lingkungan, sebagai salah satu sumber pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung dan konservasi.
Hal tersebut bias meningkatkan harga hasil hutan sehingga mengurangi dampak negatif terhadap eksploitasi besar-besaran terhadap hutan sehingga alokasi pendapatan negara dari pajak lingkungan memang dikomitmenkan sebagai langkah pengumpulan dana untuk perbaikan lingkungan.
Saat ini, pajak lingkungan hanya dimunculkan sampai menjadi RUU Pajak dan Retribusi Daerah. Akhirnya batal menjadi UU karena banyaknya penolakan yang muncul dari kalangan pengusaha.
Asumsi lain tentang penolakan pajak lingkungan adalah akan terjadi salah kaprah mengenai penerapannya. Akhirnya sama artinya dengan memperbolehkan pengusaha merusak lingkungan dengan cukup melakukan pembayaran pajak kepada negara. Yang diberlakukan adalah adanya retribusi izin gangguan yang juga melengkapi ketentuan tentang lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Retribusi izin gangguan akan melengkapi pungutan yang telah lebih dahulu ditarik pemda terkait lingkungan.
Batalnya diterapkan pajak lingkungan di Indonesia karena ada berbagai masalah. Terdapat beberapa permasalahan seperti ada kekhawatiran dalam praktiknya nanti akan terjadi kesulitan untuk membedakan apakah green tax ini dimaksudkan untuk tujuan budgetary atau regulatory. Dalam pelaksanaannya pun berpotensi munculnya overlapping, pengusaha yang selama ini sudah dikenakan berbagai jenis pajak akan dikenakan pajak baru.
Sebenarnya, masih ada opsi lain dalam usaha perbaikan alam, dari sisi pajak. Hal itu dapat dimulai dengan peningkatan kepekaan masyarakat dalam hal pembayaran pajak. Dengan begitu, ketika nantinya pajak akan dijadikan instrumen pelestarian lingkungan, maka dapat dilakukan secara optimal. Adanya penyeimbangan dalam pemberlakuan green tax dan green incentive, tanpa adanya keselarasan dalam implementasinya, maka dalam jangka lima tahun ke depan, bukan tidak mungkin tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia akan meningkat pesat. Pelibatan berbagai aspek dalam pengambilan kebijakan juga penting untuk diperhatikan. Dengan mengabaikan aspek ekonomi maupun politik dalam rencana aksi pelestarian lingkungan adalah bukan jalan keluar. Harus ada rencana komprehensif dan langkah yang implementatif dalam rangka menyelamatkan lingkungan dari kerusakan.

Oleh Anny Sulaswatty dan Biantika Kusuma Wardhani, Biro Hukum dan Humas Kementerian Riset dan Teknologi
sumber :www.mediaindonesia.com

gravatar

PPh untuk Perusahaan Asing

Jakarta - Ada satu perusahaan asing yang berniat membuka usaha di Indonesia dengan bekerja sama dengan perusahaan lokal untuk memberi order dan di produksi dan dikirim ke perusahaan lokal. Sementara status perusahaan asing ini masih belum terdaftar sebagai perusahaan di Indonesia.

Dengan kondisi seperti ini perusahaan tersebut juga tidak menginginkan adanya pemotongan pajak apapun atas profit yang dibayarkan oleh perusahaan yang mendapat order untuk memproduksi barang. Dalam hal ini apakah perusahaan pembuat barang bisa dijadikan sebagai wajib pajak?

Jawaban:

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang 28 tahun 2007, yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang Undang Nomor 36 tahun 2008, yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri antara lain adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2A ayat (2) peraturan yang sama, kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

Berdasarkan peraturan diatas, dapat disimpulkan bahwa Perusahaan pembuat barang merupakan sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia sehingga merupakan wajib pajak dalam negeri.

Dewi Meriana - Supervisor Tax PB&Co
(pbc/qom)
sumber : www.detik.com