Archives

gravatar

Pembiayaan Negara

Bab ini akan membicarakan bagaimana membiayai kebutuhan publik dalam negara muslim modern. Pajak merupakan alat membiayai negara modern konvensional. Pajak bersifat sekular sedangkan dalam negara muslim (seharusnya) kewajiban kepada negara dan pembiayaan kebutuhan bersama merupakan tugas suci yang diwajibkan oleh agama. Negara-negara muslim sebenarnya rugi besar ketika tidak mengkaitkan atau mengoptimalkan sumber keuangannya dengan memanfaatkan nilai yang bersumber dari agama ini. Pengkaitan itu akan menimbulkan disiplin, kokoh karena terkait dengan nilai dasar, lebih jujur dalam membayar bagi masyarakat dan juga lebih jujur mengelolanya, hal ini akhirnya menyebabkan partisipasi dan loyalitas kepada negara menjadi meningkat pesat. Seorang muslim akan berdosa jika berperilaku apatis terhadap masalah sosial serta berdiam diri dengan timbulnya kebutuhan publik. 
Di dalam khasanah Islam sudah dikenal barang publik, jenis, cara pengelolaan, serta pembiayaannya. Nabi SAW sebagai pemimpin negara menyatakan bahwa air, padang, dan api tidak dapat dimiliki oleh swasta, ketiga barang dan tentunya barang sejenis harus dimiliki bersama dan dimanifestasikan oleh pemilikan negara. Barang-barang publik menjadi tanggung jawab negara dan dibiayai dari uang negara yang diperoleh dari berbagai sumber. Jika sumber air yang vital untuk kepentingan umum, padang rumput (termasuk hutan alam dan sebagainya), dan api (listrik) tidak dimiliki lagi oleh negara maka akses rakyat miskin akan terganggu. Frekuensi televisi yang terbatas dewasa ini diberikan kepada perorangan, akibatnya kebudayaan umum didrive oleh aspirasi perorangan. Negara menjadi tidak berdaya menjalankan kebijakan kebudayaan. Pemilikan negara dapat berupa pemilikan saham mayoritas yang tidak perlu dibayar karena sudah dimiliki embodied secara asali, dan pelaksananya dapat diberikan kepada swasta dengan pengawasan pemerintah sesuai kebudayaan umum yang digariskan. Di Indonesia, sekarang sedang disusun undang-undang anti pornografi dan pornoaksi, kemauan negara tersebut belum tentu efektif karena frekuensi televisi sudah diberikan kepada swasta. Bahkan, jika terjadi kesulitan keuangan di perusahaan TV, sangat mungkin frekuensi tersebut akan jatuh kepada asing melalui pemilikan saham. Hal tersebutmengakibatkan sulitnya melaksanakan kebijakan kebudayaan. Jika frekuensi minimal 51 persen tetap dimiliki negara dan maksimal 49 persen, serta pengelolaan boleh dimiliki swasta, maka strategi kebudayaan akan lebih efektif. Pemerintah tidak perlu meminta dividen dari saham yang dimilikinya, pemerintah hanya berkepentingan dengan arah kebudayaan.
Dengan pemilikan swasta murni atau investor pengelolaan barang publik diselesaikan melalui mekanisme pasar. Akibatnya fasilitas hanya akan dinikmati oleh orang atau wilayah yang kebetulan mendapatkan bagian dalam distribusi peredaran uang. Supaya investor menjadi layak, harga-harga harus meningkat untuk menutup investasi dan untuk memberikan laba guna perkembangan  lebih lanjut. Namun, sebagaimana pengalaman negara maju seperti Amerika dan Jepang, ketika barang publik seperti air, listrik, telepon, dan jaringan internet hanya dimonopoli oleh BUMN, bisa jadi harga yang harus dibayar rakyat justru tinggi. Diijinkannya swasta untuk ikut menggunakan jaringan telepon, listrik, dan internet ternyata membuat harga menjadi lebih murah. Pada prinsipnya BUMN sebaiknya tidak merupakan satu-satunya atau memonopoli jaringan untuk berbagai barang publik atau semi publik, tetapi juga swasta hendaknya tidak diberi hak sepenuhnya atau menjadi monopoli.
Di samping berupa benda phisik, barang publik juga mencakup kebutuhan non phisik seperti kebutuhan akan kedaulatan dan hukum, pendidikan, pertahanan dan keamanan (jihad), dan pemerintahanYang membedakan masyarakat islam dari yang lainnya adalah pengakuan terhadap kebutuhan religius secara publik. Salah satu contoh adalah lingkungan yang aman dan nyaman untuk pendidikan moral religius anak-anak, maka pemberantasan pornografi dan membersihkan area publik dari mengekspos dosa yang berlawanan dengan religiusitasmenjadi tugas negaraPornografi, prostitusi, lotere, alkohol yang pengaturannya menjadi bagian pendapatan negara (seharusnya) tidak dikenal dalam negara Islam.
Pengadaan barang publik ini dibiayai dari zakat dan dapat dibiayai dengan pungutan tambahan (pajak). Dalam bab ini akan dibahas bagaimana pembiayaan negara dalam praktek negara modern dewasa ini dan pembiayaan negara di dalam negara yang IslamiPerbedaan utama antara pembiayaan publik dari negara modern dan negara islam dapat disederhanakan antara kewajiban pajak dan zakat. Pajak merupakan kewajiban kepada negara yang bersifat formal-sekular, sedangkan zakat adalah kewajiban kepada negara yang bersifat religius,  yaitu mengandung unsur keikhlasan dan kesucian.
JENIS SUMBER PEMBIAYAAN NEGARA

              Untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya, negara dapat melakukan beberapa cara, yaitu, meminta barang dan jasa secara langsung, mencetak uang, meminjam uang, dan memungut pajak.
a.    Meminta secara langsung barang dan jasa, seperti meminta perusahaan untuk membantu tentara dengan kendaraan, meminta bantuan makanan untuk para tentara kepada penduduk ketika perang, upeti untuk raja, dan sebagainya.
b.    Mencetak uang dan atau meminjam. Bank Sentral bertugas melaksanakan tugas negara untuk supply uang dan diberi hak mencetak uang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas ekonomi. Bank sentral merupakan bank dari bank dan merupakan terminal akhir pemberi pinjaman. Di samping mencetak uang, Bank Sentral juga dapat mengendalikan jumlah uang beredar dengan melaksanakan jual beli surat berharga. Misalnya, jika pemerintah ingin meminjam uang dari rakyat pemerintah akan menjual obligasi.  Bank sentral bisa membeli atau menjual surat berharga yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dengan tujuan meningkatkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Kegiatan Bank Sentral membeli surat berharga atau mencetak uang fungsinya sama saja, yaitu, menambah jumlah uang beredar. Jika misalnya pemerintah ingin meminjan uang dari masyarakat, suku bunga atau biaya modal dalam bank Islam akan terdorong naik, bank sentral akan menganalisis apakah membiarkan sulu bunga meningkat, atau membeli surat utang pemerintah tersebut, dengan konsekuensi uang keluar dan akan terjadi kenaikan harga. Dengan demikian Bank Sentral memilih dua opsi apakah mengendalikan suku bunga, atau harga-harga.
Di samping menjaga supply uang, tugas Bank Sentral diperluas dengan tujuan menjaga kelangsungan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas,  meningkatkan keadilan ekonomi, dan menstabilkan harga-harga. Untuk melaksanakan tugasnya ini Bank Sentral melaksanakan fungsinya terutama dengan menjaga supply uang dan suku bunga.Kekuasaan mencetak uang berasal dari kekuasaan feodal. Semula raja atau pemimpin negara dengan kekuasaan politik dapat mengeluarkan uang yang dapat ditukar dengan komoditi apapun yang diproduk dengan keringat oleh rakyat.
Mata uang emas menyebabkan pemimpin politik tidak lagi memiliki kekuasaan sangat istimewa. Kekuasaan mencetak uang kertas sebenarnya bersifat feodal, yaitu menggambarkan bahwa keuntungan ekonomi merupakan akibat dari kekuasaan politik. Penghapusan standar emas terjadi awal abad 20 ketika negara-negara muslim akan merdeka, dan ternyata penggunaan kertas sebagai akibat dari kekuasaan politik, menyebabkan negara adi daya dapat menikmati semua sumber alam di berbagai negara muslim dan negara ketiga lainnya.
Dengan kembali menggunakan emas sebagai alat tukar, karena pertambahan jumlah emas tidak sepesat pertambahan barang dan jasa, maka para pekerja dengan upah yang sama dapat menukarkannya dengan barang dan jasa semakin banyak. Dengan upah berstandar emasnilainya akan selalu meningkat sejalan dengan penurunan umum harga-harga barang relatif terhadap emas. Dengan demikian, kesejahteraan lapisan terbawah otomatis terangkat bersama dan setara dengan pertumbuhan ekonomi. Tidak ada kekhawatiran atau paradog antara pertumbuhan produksi dan pemerataan, mana yang lebih dahulu dipentingkanKembali ke penggunaan emas merupakan berkah kepada buruh dan orang miskin, demikian juga negara miskin yang kurang diuntungkan selama satu abad terkahir. Inflasi yang kontinue dengan penggunaan uang kertas tidak lain adalah pajak tersembunyi bagi buruh dan orang miskin. Pada waktu negara mencetak uang lebih besar daripada pertumbuhan barang dan jasa, harga-harga cenderung meningkat, efeknya sama asja dengan pungutan pajakPajak pajak ini dipungut dari kaum pekerja karena kenaikan harga umumnya lebih diderita oleh penerima penghasilan tetap. Sebaliknya, mata uang emas atau standar emas, dengan peningkatan barang dan jasa mata uang menjadi makin langka dan harga harga menjadi cenderung turun, sistem keuangan tersebut akan mendorong redisribusi yang menguntungkan buruh.
Upah yang umumnya tidak mudah turun makin lama menjadi semakin berharga karena kelangkaan emas dibanding barang dan jasa yang diproduksi dan ditransaksikan. Jika kelangkaan ini besar memang akan menjadi masalah tersendiri. Emas atau standar emas di mana masyarakat pemegang uang sewaktu-waktu dapat menukar uangnya kepada emas di negara muslim, akan menyebabkan berkurangnya emas tersebut jika terjadi defisit perdagangan atau laba yang dibawa kembali (repatriasi) oleh perusahaan asing. Dengan demikian, penentuan pembayaran dengan emas tidak bisa sefihak, singkatnya, penggunaan emas haruslah serentak di negara-negara partner.
Uang kertas menjadi laku karena muatan politik, di mana pencetak uang diberi mandat oleh rakyat. Uang kertas mengandung ketidak adilan karena uang tersebut diproduksi dengan tanpa biaya, dan dapat ditukar dengan produk apapun yang diusahakan oleh masyarakat dengan susah payah. Dalam perdagangan antarnegara mata uang keras khususnya dolar yang diterima di seluruh dunia mendapat berkah politik tersebut. Dolar dapat ditukar dengan minyak, kayu, dan hasil tambang lainnya yang berusia ribuan tahun. Memang dolar tersebut dapat ditukarkan kembali kepada barang dan jasa negara asalnya, tetapi, barang dan jasa tersebut sering berlebih dan belum tentu benar-benar dibutuhkan oleh negara sedang berkembangSebagai salah satu contoh saja produk hand phone,  dengan model dan fungsi yang selalu berubah lebih lengkap, misalnya dapat untuk mengakses internet, sering dibeli oleh masyarakat negara berkembang tanpa pernah menggunakan sekalipun untuk akses internet. Kelebihan fungsi ini sering terjadi dan produk-produk baru dari negara yang mengeluarkan dolar terus tumbuh secara berlebihan. Akhirnya, konsumsi dunia yang diperoleh  dengan menguras dan menukar hasil alam di negara muslim dan negara ketiga lainnya sangat berlebihan. 

Kembali kepada cara pemerintah memperoleh dana, pemerintah selain mencetak uang juga dapat melakukan pinjaman. Pemerintah melakukan hutang kepada rakyat dengan jalan menjual obligasi, atau pinjam ke luar negeri. Supaya obligasi tersebut laku, maka pemerintah harus memberi return (suku bunga atau bagi hasil) yang menarik. Akibatnya, suku bunga akan cenderung meningkat, masyarakat akan mengurangi tabungannya di Bank untuk diserahkan kepada pemerintah dan pemerintah akan membelanjakan. Belanja pemerintah ini akan direspon oleh pengusaha. Jika pengusaha merespons dengan meningkatkan produksi maka jumlah barang di masyarakat meningkat sebanding dengan meningkatnya jumlah uang beredar. Akan tetapi, jika pengusaha tidak meningkatkan produksi, maka akan terjadi kenaikan harga-harga karena permintaan yang menguat tersebut tidak disertai penambahan produksi. Bank Sentral sekarang akan menilai apakah inflasi ini dikehendaki atau tidak, jika tidak dikehendaki Bank Sentral akan membiarkan kenaikan suku bunga, tetapi jika inflasi masih dikehendaki maka Bank Sentral akan menahan suku bunga. Jika pemerintah meminjam ke negara lain, pinjaman ini akan meningkatkan supplyuang di dalam negeri, akan tetapi, uang tambahan itu dapat dibelanjakan untuk memperoleh barang dan jasa dari luar negeri. Karena dapat ditukarkan dengan barang luar negeri, efek inflasi dari pinjaman luar negeri lebih rendah daripada pencetakan uang atau pinjaman di dalam negeri.
Umunmya barang dan jasa yang ingin diperoleh dari luar negeri adalah barang dan jasa yang bertujuan menyerap produksi luar negeri. Dengan demikian pinjaman luar negeri tidak lain adalah upaya untuk menyerap kelebihan barang dan jasa di luar negeri. Ini bererati kita ( negara sedang berkembang) berperan menggerakkan ekonomi negara pemberi pinjaman. Pinjaman ini akan dibayar oleh generasi mendatang. Pinjaman luar negeri bermanfaat jika benar-benar meningkatkan kapasitas produksi negara penghutang, tetapi jika pinjaman itu dipicu oleh sikap konsumtif, maka konsumsi itu akan dibayar generasi mendatang. Dengan demikian, harus dilihat apakah pinjaman luar negeri disebabkan oleh konsumerisme berlebihan di dalam negeri, atau ada hubungannya dengan investasi produktif. 


c. Pungutan Dari Masyarakat
             
Penerimaan pemerintah yang lebih penting adalah memungut aneka pajak untuk membiayai aneka keperluannya. Jenis dan tarif dari aneka pajak ini di negara Barat umumnya lebih besar dari ketentuan zakat di dalam Islam. Pajak atau zakat merupakan penerimaan negara yang utamaPendapatan pemerintah tersebut tidak dipungut sekaligus kepada warganya, melainkan dikenakan berulang kali dari suatu aliran pendapatan. Dengan demikian, dari sejumlah uang seseorang dipungut pajak berkali-kali tergantung dari aktivitasnya. Di negara modern, titik-titik pemungutan pajak tersebut dimulai dari pajak atas pengeluaran gaji (payroll tax) dipungut di perusahaan untuk keperluan pembayaran pensiun, cacat, sakit, dan jika terjadi PHK dari tenaga kerja. Kemudian, jika gaji masih memenuhi batas kena pajakakan dipungut pajak penghasilan. Penghasilan bersih setelah kena pajak akan digunakan untuk konsumsi dan sebagian ditabung. Yang dikonsumsi dibelanjakan untuk berbagai barang akan terkena pajak pertambahan nilai atau dikenai cukai. Yang ditabung akan masuk di pasar modal dan hasilnya dikenai pajak penghasilan. Saat tabungan digunakan orang untuk investasi di sektor riel, akan dikenai pajak pembelian barang modal (termasukpajak/perijinan investasi). Selanjutnya perusahaan yang beroperasi menghasilkan nilai tambah atau laba juga merupakan objek pajak penghasilan badan (business tax). Perusahan tersebut membeli input dan membayar tenaga kerja, input bahan dikenai pajak penjualan/pembelian dan tenaga kerja dikenai payroll tax, kembali berputar sebagaimana yang pertama.
Demikian seterusnya berputar dan pada berbagai titik dalam perputaran ekonomi pajak dikenakan. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dapat memegang pendapatan nasional yang relatibesar. Jenis-jenis pungutan negara dapat sikelompokkan menjadi pajak penghasilan perorangan, pajak penghasilan perusahaan, pajak penjualan dan cukai, pajak atas harta (bumi bangunan), pungutan penggunaan jasa pemerintah, dan pendapatan dari regulasi dan monopoli.

Prinsip Pemungutan Pajak

Peran pemerintah dapat dibedakan menjadi tiga fungsi berikut, yaitu, fungsi alokasi, fungsi stabilitasi, dan fungsi distribusi.
Fungsi alokasi, adalah fungsi yang dimainkan oleh pemerintah dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Barang dan jasa dapat dibedakan menjadi dua yaitu barang swasta dan barang publik. Barang swasta umumnya dapat diserahkan penyediaannya kepada swasta melalui mekanisme pasar. Harga-harga dan akhirnya laba menjadi pedoman sektor swasta untuk memproduksi barang apa saja dan berapa jumlahnya. Barang publik hanya mungkin disediakan oleh negara, dan barang publik yang dapat dibatasi penggunaannya dengan rekayasa dapat diserahkan kepada swasta.
Fungsi stabilisasi, adalah fungsi fiskal pemerintah untuk mempertahankan kesempatan kerja, mempertahankan pertumbuhan ekonomi, dan menstabilkan harga-harga jangan sampai terlalu berfluktuasi. Kebijakan makro ekonomi dilaksanakan untuk mempertahankan kestabilan tersebut. Juga kebijakan langsung dalam program welfare state seperti memberi tunjangan orang miskin merupakan cara stabilisasi dengan memperkuat permintaan umum bagi industri.
Fungsi distribusi, adalah fungsi pemerintah untuk memeratakan daya beli dan akhirnya pemerataan barang dan jasa. Jika masyarakat dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, maka akan terjadi kecenderungan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Pemerintah berperan untuk memungut dari si kaya dan memberikan kepada si miskin. Adanya pemerintah itu sendiri dengan kewenangan mencetak uang kertas yang dengan uang itu dapat membeli berbagai produk yang diusahakan dengan susah payah oleh rakyat jugamerupakan salah satu ketidak-adilan. Jadi sumber ketidak adilan adalah perbedaan endowment (sumber alam, modal, dan teknologi) dan juga kekuasaan politik

gravatar

Pajak Pertambahan Nilai Berganda pada Bank Syariah



 Salah satu poin penting dalam Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN. Meskipun berulang kali SE ini mendapat tantangan dari kalangan perbankan syariah, termasuk Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah yang menyatakan pengenaan PPN tersebut sebagai pajak berganda (double taxation), serta adanya pemboikotan, sampai saat ini Dirjen Pajak belum mencabut SE tersebut. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai transaksi Murabahah, pajak berganda serta layak tidaknya transaksi tersebut dikenakan PPN.

Tinjauan Bank Syariah dan Transaksi Murabahah
Bank Syariah merupakan bank yang dijalankan dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah, atau dengan kata lain mengacu pada Al’Quran dan Hadits. Di Indonesia, operasional syariah ini diatur dalam UU No. 7 tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Aturan ini dibuat dengan latar belakang adanya keyakinan dalam agama Islam yang melarang praktek-praktek tertentu yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, terutama pengenaan riba (bunga). Dengan batasan ini, produk perbankan Syariah harus dimodifikasi untuk menghindari riba (serta larangan-larangan lain) tersebut. Salah satu produk hasil modifikasi tersebut adalah pembiayaan dengan akad "Murabahah", yaitu akad jual beli.

Dasar hukum dari produk Murabahah ini antara lain adalah Surat Al Baqarah, ayat 275: ”Bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Dengan akad ini, penyerahan barang dari penjual (bank Syariah) kepada pembeli (nasabah) merupakan syarat mutlak dilakukannya proses pembiayaan. Untuk dapat menyerahkan barang tersebut kepada nasabah, bank Syariah harus terlebih dulu memilikinya, yang berarti harus membeli barang tersebut dari pemasok. Untuk lebih jelasnya berikut adalah ilustrasi perbandingan akad Murabahah dengan kredit pada bank konvensional untuk pembelian mobil:
Pajak Pertambahan Nilai Berganda

PPN atas Transaksi Murabahah

Bila kedua transaksi penyerahan mobil di atas dikenakan PPN sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini (diasumsikan harga tersebut belum termasuk PPN), akan terdapat perbedaan jumlah PPN yang harus dibayar oleh Nasabah (sebagai konsumen akhir) pada kedua skema pembiayaan di atas. Nasabah yang membeli dengan pembiayaan dari bank konvensional hanya membayar PPN sebesar 10% X Rp 100 juta = Rp 10 juta. Sebaliknya, Nasabah yang membeli dengan pembiayaan Murabahah harus membayar PPN sebesar 10% X Rp 120 juta = Rp 12 juta. Bila ditelusuri lebih lanjut, selisih ini merupakan 10% dari margin penjualan bank Syariah, yaitu 10% X Rp 20 juta = Rp 2 juta. Selisih ini terjadi karena pendapatan bunga pada bank konvensional bukan merupakan obyek pajak sedangkan margin pada bank syariah merupakan obyek pajak. Selisih inilah yang menyebabkan SE Dirjen Pajak ditentang habis-habisan oleh kalangan perbankan Syariah dan disebut sebagai pajak berganda, selain tentu saja kerepotan yang harus ditimbulkan dengan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pengenaan PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda.

PPN Murabahah = Pajak Berganda (Double Taxation)?

Secara sederhana, pajak berganda dapat diartikan sebagai pengenaan pajak atas obyek yang sama lebih dari satu kali. Misalnya, pendapatan yang dikenakan PPh Final tetapi diperhitungkan lagi pada penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Lawan dari pajak berganda ini adalah obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, misalnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi penerimanya tetapi dapat dibiayakan pada penghitungan PKP. Aturan perpajakan di Indonesia, dengan perbaikan yang telah dilakukan secara terus menerus, secara konsisten dilakukan dengan salah satu tujuan untuk menghindari kedua hal tersebut. Bila masih ada aturan tertentu yang tidak konsisten dengan tujuan tersebut, kemungkinan besar aturan tersebut dibuat dengan motif untuk menjalankan fungsi pengatur (regulent) untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang diinginkan. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bila PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda tetapi tetap diberlakukan oleh Dirjen Pajak.
Untuk meninjau apakah PPN atas produk Murabahah merupakan pajak berganda, berikut adalah tinjauan pengenaan PPN atas ilustrasi di atas.
Bank Syariah beli dari Dealer:
PPN = 10% X 100 juta = Rp 10 juta (PPN masukan bagi bank Syariah)
Bank Syariah jual ke Nasabah (konsumen akhir):
PPN = 10% X 120 juta = Rp 12 juta (PPN keluaran bagi bank Syariah)
PPN yang harus dibayar Bank Syariah = PPN Keluaran – PPN Masukan
= Rp 12 juta – Rp 10 juta
= Rp 2 juta
Jadi, PPN yang harus dibayar oleh bank Syariah ke kas negara adalah Rp 2 juta, yang sebenarnya dikenakan atas margin penjualan mobilnya. Margin ini belum pernah dikenakan PPN sebelumnya karena dealer hanya mengenakan PPN atas harga jualnya, yaitu Rp 100 juta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PPN tersebut bukan merupakan pajak berganda karena margin dari pembiayaan Murabahah hanya dikenakan PPN satu kali saja.

Inkonsistensi Aturan?

Meskipun bukan merupakan pajak berganda, pengenaan PPN atas produk Murabahah tetap merupakan inkonsistensi peraturan. Pendapatan bunga, yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional, tidak dikenakan PPN sedangkan margin pembiayaan Murabahah, yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan (syariah) dikenakan PPN. Inkonsistensi aturan ini menyebabkan bank Syariah harus menjual produk Murabahah lebih mahal untuk mendapat tingkat keuntungan yang sama dengan pembiayaan bank konvensional.
Konsekuensi dari adanya perbedaan di atas, konsumen harus membayar lebih mahal untuk memilih produk Murabahah dibanding produk bank konvensional. Dampaknya, bila masalah agama dikesampingkan, konsumen yang rasional akan memilih produk yang lebih murah untuk mendapat manfaat yang sama. Oleh karena itu, disengaja atau tidak, aturan ini akan menjalankan fungsi regulent-nya untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang mungkin kurang diinginkan yaitu: mengarahkan konsumen rasional untuk memilih produk perbankan konvensional.
Yustinus Sadmoko SE, MM, CIA, BKP - Prime Consulting, 20 Agustus 2007
Sumber : http://www.ortax.org/ortax/