gravatar

Tax Holiday, Tak Populer Tapi Ditunggu Investor

Lahirnya tax holiday dilatari oleh UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 18, pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan dalam jumlah tertentu kepada penanam modal baru yang merupakan industri pionir.

Jakarta(infobanknews.com)–Banyak negara di dunia tidak mengedepankan tax holiday sebagai insentif bagi investornya. Ketersediaan infrastruktur masih menjadi peringkat teratas.

“Di kebanyakan negara, tax holiday bukanlah insentif yang populer di kalangan investor untuk menanamkan modalnya,” ujar Direktur Peraturan Pajak II Kementerian Keuangan Syarifuddin Alsyah, dalam acara sosialisasi tax holiday di gedung Notohamiprodjo lantai 3, Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 1 November 2011.

Menurutnya, tax holiday tetap ditunggu-tunggu kehadirannya. Sebagai amanat UU tentang Penanaman modal, PMK 130 terbit untuk mengatur tax holiday. “Sebelumnya, dalam PP nomor 62 tahun 2008, diatur pula fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu. Tapi, PP ini lebih kurang menarik, sehinggatax holiday lebih ditunggu,” jelasnya, seperti dikutip dari website Kementerian Keuangan.

Lahirnya tax holiday dilatari oleh UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 18, pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan dalam jumlah tertentu kepada penanam modal baru yang merupakan industri pionir.

Acara sosialisasi ini membahas tax holiday dari kacamata tiga penggodoknya, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Syarifuddin menuturkan, saat ini ada beberapa investor yang tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia, karena insentif yang dimiliki Indonesia ini memiliki penawaran lebih.

Tax holiday Indonesia lebih baik, misalnya grace period. Ada beberapa investor yang berpikir untuk menarik rencana investasi dari negara tetangga ke Indonesia. Tetapi, kita harus tetap membenahi infrastruktur yang menjadi nomor satu,” katanya. (*)

gravatar

Usaha Mikro dan Kecil Sebaiknya Tidak Dipajaki

Pemerintah mengakui, rencana pengenaan pajak ini banyak ditentang oleh pelaku UKM. Kementerian Koperasi dan UKM bersama Ditjen Pajak juga belum menemukan kata sepakat soal konsep pengenaan pajak bagi pelaku UKM. Rully Ferdian

Jakarta (infobanknews.com)–Anggota Komisi XI DPR RI, Kemal Azis Stamboel menilai, rencana pengenaan pajak untuk usaha mikro dan kecil tidak tepat. Pasalnya, Ini akan menjadi disinsetif bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Disisi lain amanat UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek pendanaan,  sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang dan dukungan kelembagaan belum berjalan optimal.

“Kita juga harus hati-hati karena, usaha mikro dan kecil juga dikenakan retribusi dan pungutan dari Pemda. Jangan sampai pajak ini semakin memberati mereka”, kata Kemal, dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis, 17 November 2011.

Rencananya pajak sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dikenakan sebesar 0,5% dari omzet untuk pelaku usaha dengan nilai penjualan hingga maksimal Rp300 juta serta 2% untuk penjualan antara Rp300 juta hingga Rp4,8 miliar. Keputusan pengenaan pajak penghasilan (PPh) bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) sampai saat ini masih diperdebatkan dan belum final.

Pemerintah mengakui, rencana pengenaan pajak ini banyak ditentang oleh pelaku UKM. Kementerian Koperasi dan UKM bersama Ditjen Pajak juga belum menemukan kata sepakat soal konsep pengenaan pajak bagi pelaku UKM.

Menurut Kemal, mengacu pada kriteria UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM pasal 6, sebaiknya yang dikenakan pajak yang sudah masuk kategori usaha menengah. “Terlalu memberati kalau usaha mikro yang omset pertahunnya dibawah Rp300 juta atau dibawah Rp25 juta perbulan dikenakan pajak 0,5 persen dari omset tersebut. Sebaiknya Ditjen Pajak fokus dulu pada usaha menengah yang omsetnya sudah diatas Rp2,5 milyar atau usaha besar yang omsetnya diatas Rp50 milyar yang belum tergali optimal”, tambahnya.

Menurut UU, Kriteria Usaha Mikro adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Kriteria Usaha Kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai dengan paling banyak Rp500 jutatidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai dengan paling banyak Rp2,5 milyar.

Sedangkan Kriteria Usaha Menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp50 miliar.

”Pemerintah harus memperhitungkan kontribusi mereka terhadap penciptaan lapangan kerja selama ini. Pajak untuk usaha mikro dan kecil dapat menjadi beban yang semakin tinggi dan mengurangi daya saing mereka ditengah ancaman resesi dan perdagangan bebas yang semakin terbuka”, tegas Anggota DPR dari FPKS ini. (*)

Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan Omzet dan Asset

No.URAIANKRITERIA
ASSETOMZET
1USAHA MIKROMaks. 50 JutaMaks. 300 Juta
2USAHA KECIL> 50 Juta – 500 Juta> 300 Juta – 2,5 Miliar
3USAHA MENENGAH> 500 Juta – 10 Miliar> 2,5 Miliar – 50 Miliar

Sumber: UU No. 20 Tahun 2008, Pasal 6.

gravatar

Pemerintah Terbitkan Aturan Pajak Kegiatan Usaha Syariah | INFOBANKNEWS

Pemerintah Terbitkan Aturan Pajak Kegiatan Usaha Syariah | INFOBANKNEWS

gravatar

Dirjen Pajak Tegaskan PPN dan PPnBM

 

Jakarta–Sehubungan dengan adanya pemberitaan bahwa “Pajak Jadikan Harga Jual Mobil Mahal dan Pajak Impor Bajaj sama dengan Harley Davidson”, maka Direktorat Jenderal Pajak menyatakan, beberapa hal yang menyangkut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Dirjen Pajak Dedi Rudaedi, dari keterangan pers-nya, yang diterima Infobanknews.com, di Jakarta, Kamis 19 Januari 2012, mengatakan, setidaknya terdapat 5 butir yang dikeluarkan Dirjen Pajak mengenai pemberitaan bahwa “Pajak Jadikan Harga Jual Mobil Mahal dan Pajak Impor Bajaj Sama dengan Harley Davidson.

Pertama, salah satu karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah Pajak Konsumsi, yaitu hanya dikenakan pada obyek pajak dari kegiatan konsumsi.

PPnBM hanya akan dikenakan kepada obyek pajak (barang) yang termasuk kategori mewah.  Kendaraan bermotor tertentu, termasuk mobil pribadi, termasuk kategori barang mewah sehingga dikenakan PPnBM dengan lapisan tarif sesuai aturan yang berlaku.

Kedua, selain itu, PPnBM juga berprinsip keadilan, yang mengharuskan Wajib Pajak kaya akan membayar pajak lebih tinggi daripada Wajib Pajak yang tidak mampu. Bagi Wajib Pajak yang secara finansial mampu membeli mobil pribadi, sudah sangat adil membayar pajak yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak yang tidak mampu membelinya.

Ketiga, perlu disampaikan juga berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 355/KMK.03/2003 tentang Jenis Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, maka kendaraan pengangkutan umum dibebaskan dari pengenaan PPnBM.

Yang dimaksud dengan pengertian kendaraan pengangkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar polisi dengan warna kuning.

Keempat, untuk memperoleh pembebasan PPnBM seperti pada butir 3 diatas, Wajib Pajak yang melakukan impor atau yang yang menerima penyerahan kendaraan bermotor wajib memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPnBM yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Kelima, sepanjang memenuhi kriteria seperti pada butir 3 dan 4 tersebut, maka Bajaj tidak akan dikenakan PPnBM. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

 

gravatar

Mengenal Lebih Jauh Perpajakan

akarta - 1. PPh atas Jasa Konstruksi bersifat FINAL! Karena itu, jika ada kerugian dari usaha Jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai dengan Tahun Pajak 2008 saja. (SE-05/PJ.03/2008)

2. BUT merupakan Subjek Pajak yang perlakuan perpajakannya di persamakan dengan Subjek Pajak Badan. Wujud BUT dapat berupa Gudang; Ruang untuk promosi dan penjualan; dan Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.  (Pasal 2 ayat (5) huruf g,h, dan p, UU PPh)

3. Objek PPh, diperluas. Pengalihan Hak di Bidang pertambangan, Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah, Imbalan bunga; Surplus BI, keuntungan karena re-organisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Reksadana (yang sebelumnya bukan objek pajak), sekarang menjadi Objek PPh (Pasal 4 ayat (1) UU PPh)

4. Penghasilan dari transaksi derivatif, penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan real estate, penghasilan tertentu lainnya seperti pembayaran deviden dalam Pasal 23 ayat (1) yang diterima OP, dan bunga simpanan koperasi yang sebelumnya terutang PPh Pasal 23,  kini semuanya menjadi Objek PPh Final (Pasal 4 ayat (3) UU PPh)

5. Dividen yang diterima WP OP dalam negeri, terutang PPh final sebesar 10% (Pasal 17 ayat (2c) UU PPh)

6. Imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh WP yang dikenakan PPh Final atau WP yang menggunakan norma Penghitungan Khusus (deemed profit) terhutang PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 (Pasal 5 ayat (2) PermenkeuNo. 252/PMK.03/2008)

7. Syarat kumulatif piutang yang tak tertagih yang dapat dibebankan adalah:


  1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, Dan
  2. (Syarat Alternatif) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu,
  3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus,
  4. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP. (Pasal 6 ayat (1) UU PPh)

8. Perusahaan yang diwajibkan membuat laporan keuangan berkala (seperti WP bank, WP sewa guna usaha dengan hak opsi, WP masuk bursa dan WP lainnya) dapat membayar angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan laporan keuangan berkala tersebut atau sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12. Sehingga pembayaran angsuran tersebut dapat lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya. (PMK-255/PMK.03/2008)


9. Sesuai Pasal 23 UU PPh Baru, saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 kini adalah menjadi saat dibayarkan(Cash Basis), saat disediakan untuk dibayarkan, dan ketika pembayarannya telah jatuh tempo (accrual basis). Dimana sebelumnya saat terutang PPh Pasal 23/26 pada saat biaya dibebankan (diakui) dalam pembukuan dihapuskan.
10.Inter-corporate dividen, atau dividen yang diterima oleh perseroan terbatas bukan merupakan objek pajak / tidak terhutang PPh Pasal 23,  walaupun penerima deviden tersebut tidak lagi mempunyai usaha aktif diluar kepemilikian saham (Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh)

11. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya dan/atau keuntungan karena pembebasan utang, dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dan bersifat final, kecuali pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang berubah status menjadi WP Dalam Negeri atau BUT. (Pasal 26 ayat (5) UU PPh).


12. Bagi Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memenuhi persyaratan sebagai WP dalam Negeri karena belum memenuhi syarat objektif sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan, tidak wajib membayar Fiskal Luar Negeri dengan melampirkan Surat Pernyataan Berpenghasilan dibawah PTKP. (Confirm SE-88/PJ./2008)

13. Kriteria orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang dikecualikan dari pembayaran PPh atas harta hibahan, bantuan atau sumbangan yang diterimanya adalah yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut; memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500 Juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 2,5 Milyar. (PMK 245/PMK.03/2008)


14. Wajib Pajak Kriteria Tertentu yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 Surat Pemberitahuan (SPT) adalah usaha kecil orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang omzet tahun sebelumnya < Rp. 600 Juta, usaha kecil badan yang 100% sahamnya milik WNI dan omzet tahun sebelumnya Rp 900 Juta, atau wajib pajak di daerah tertentu yang telah ditepkan oleh DJP (Pmk 182/PMK.03/2007)

gravatar

Aturan-aturan Pajak Baru tahun 2011

Jakarta - 1. Selama ini kita mengenal bentuk formulir SPT Masa PPN adalah bentuk Formulir SPT Masa PPN 1107. Sedangkan untuk Wajib Pajak yang khusus terdaftar di KPP wilayah Jakarta, dapat menggunakan Formulir SPT Masa PPN 1108 apabila penyerahan setiap bulannya tidak melebihi 30 transaksi yang diterbitkan Faktur Pajak. Tapi mulai 1 Januari 2011, kita akan menggunakan formulir SPT Masa PPN yang baru. Yang akan mulai diberlakukan untuk pelaporan PPN masa Januari 2011 dan diberi nama sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111. (Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010 jo Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-98/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010)

2. Bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, Mulai 1 Januari 2011 nanti harus menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan formulir yang berbeda dengan PKP lainnya. Berbeda dengan yang selama ini berlaku. Bentuk formulir SPT Masa PPN khusus bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini diberi kode sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111 DM. (Peraturan Dirjen No.PER-45/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010 jo Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-99/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010)

3. Mulai 1 Januari 2011, kewenangan pemungutan BPHTB akan dialihkan dari DJP ke Pemda. Segala persiapan pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah, termasuk menyiapkan narasumber pelatihan teknis pemungutan BPHTB di Pemda dan menutup rekening BPHTB pada bank persepsi atau bank operasional III BPHTB serta pencabutan penetapan Bank Operasional III BPHTB kepada Dirjen Perbendaharaan, akan dilakukan paling lambat sebelum tanggal 31 Desember 2010. Jadi jangan heran jika tahun depan hal-hal yang terkait dengan proses penagihan, seperti penerbitan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. (Peraturan Dirjen Pajak No.PER-47/PJ./2010 tanggal 20 Oktober 2010)

4. Untuk menertibkan angkutan umum liar di darat yang selama ini beroperasi menggunakan pelat hitam, maka kepadanya akan dikenakan PPN. Karena pemilik angkutan liar tersebut dianggap telah memungut PPN dari konsumennya. Sebaliknya  bagi jasa angkutan umum di darat (baik angkutan orang maupun barang) yang dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan (plat nomor) dengan dasar kuning dan tulisan hitam, dengan sistem pengangkutannya baik secara trayek, charter maupun sewa, maka sesuai ketentuan yang berlaku, tidak dikenakan PPN.   (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-119/PJ./2010 tanggal 16 November 2010)

5. Dalam rangka penyelesaian permohonan keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan SKP atau STP yang tidak benar, dan pembatalan hasil pemeriksaan atau SKP dari hasil pemeriksaan, DJP secara tertulis dapat meminjam buku, catatan, data dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy, yang dimiliki oleh WP dan/atau meminta keterangan langsung dari WP. Maka sebelum mengajukan permohonan tsb diatas, pastikan dulu buku, catatan, data dan informasi yang dimiliki telah ter-dokumentasi dengan baik dan lengkap, untuk memudahkan WP menghadapi persidangan nanti. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-112/PJ./2010 tanggal 5 November 2010.)

6. Dalam rangka mendukung pemanfaatan basis data pajak untuk kepentingan internal DJP, kini tabel khusus hasil standarisasi penulisan nama dan alamat Wajib pajak akan ditambahkan pada basis data SIPMOD/SIDJP. Pedoman standarisasi penulisan nama dan alamat WP ini dilakukan berdasarkan nama dan alamat Wajib Pajak yang sudah terekam dalam basis data pajak dan juga terhadap perubahan data WP yang terjadi setelah tanggal 30 November 2010. Diharapkan, dengan standarisasi penulisan ini, akan memudahkan DJP dalam melakukan matching data dan intensifikasi pemungutan pajak. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-114/PJ./2010 tanggal 5 November 2010)

7. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Baru yang terdaftar pada tahun berjalan atau satu tahun sebelumnya, meliputi WP OP domisili dan WP OP cabang, kepadanya akan dilakukan mapping potensi, monografi fiskal dan canvassing. Tujuannya tentu untuk menggali potensi penerimaan pajak. Dan demi mengamankan penerimaan pajak dari WP OP Baru, akan dilakukan juga dengan cara mengoptimalisasi kegiatan pengawasan terhadap WP OP Baru kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan memberikan pembinaan, edukasi, serta pelayanan perpajakan terhadap WP OP Baru (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-113/PJ./2010 tanggal 5 November 2010)

8. Bagi WP yang terdaftar di KPP WP Besar Orang Pribadi, akan dilakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus ini berdasarkan analisis risiko terhadap profil WP yang dilakukan untuk menilai tingkat kepatuhan WP yang berisiko menimbulkan kerugian penerimaan pajak. Terutama pada WP dengan risiko tinggi yang dihitung dari potensi penerimaan pajak yang masih dapat digali.

Untuk menjamin kualitas pelaksanaannya,  sebelum diajukan usulan pemeriksaan khusus, analisis risiko yang dibuat Account Representative akan dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan tim Identifikasi dan analisis risiko. Kemudian pada saat pelaksanaan proses pemeriksaan khusus oleh Tim Pemeriksa Pajak, sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak, Tim Pemeriksa Pajak diwajibkan untuk melakukan pembahasan konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terkait yang menjadi dasar usulan dilakukan pemeriksaan khusus antara Tim Pemeriksa Pajak dan Tim Identifikasi dan Analisis Risiko.


Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan penegakan hukum bagi Wajib Pajak. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-120/PJ./2010 tanggal 18 November 2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ/2010).

gravatar

Differences between Tax Avoidance and Tax Evasion

Tax avoidance is generally the legal exploitation of the tax regime to one's own advantage, to attempt to reduce the amount of tax that is payable by means that are within the law whilst making a full disclosure of the material information to the tax authorities. Examples of tax avoidance involve using tax deductions, changing one's business structure through incorporation or establishing an offshore company in a tax haven.
By contrast tax evasion is the general term for efforts by individuals, firms, trusts and other entities to evade the payment of taxes by illegal means. Tax evasion usually entails taxpayers deliberately misrepresenting or concealing the true state of their affairs to the tax authorities to reduce their tax liability, and includes, in particular, dishonest tax reporting (such as underdeclaring income, profits or gains; or overstating deductions).
Tax avoidance may be considered as either the amoral dodging of one's duties to society, part of a strategy of not supporting violent government activities or just the right of every citizen to find all the legal ways to avoid paying too much tax. Tax evasion, on the other hand, is a crime in almost all countries and subjects the guilty party to fines or even imprisonment. Switzerland is one notable exception: tax fraud (forging documents, for example) is considered a crime, tax evasion (like underdeclaring assets) is not.
Some tax evaders see their efforts to evade taxation as based upon novel legal theories: these individuals and groups are sometimes called tax protesters. U.S. tax protesters are an example of this kind of approach to tax evasion that has generally ended in failure for those making such claims.
Tax resistance is the refusal to pay the tax for conscientious reasons (because they do not want to support the government or some of its activities), sometimes breaking the law to do so. Some donate their unpaid taxes to charity, while others (at least in the US) take creative "deductions" such as not paying a percentage of tax equal to the defense budget. In either case, they typically do not take the position that the tax laws are themselves illegal or do not apply to them (as tax protesters do) and they are more concerned with not paying for what they oppose than they are motivated by the desire to keep more of their money (as tax evaders typically are). Some have suggested the term tax avoision for people who adopt the techniques of tax avoidance in the service of tax resistance, thereby doing tax resistance legally.
In the UK, there is no General Anti-Avoidance Rule (GAAR), but certain provisions of the tax legislation (known as "anti-avoidance" provisions) apply to prevent tax avoidance where the main object (or purpose), or one of the main objects (or purposes), of a transaction is to enable tax advantages to be obtained. Judicial doctrines, relying on a purposive construction of tax legislation, are being evolved to prevent tax avoidance involving circular, self-cancelling transactions (IRC v. Ramsey), or where steps with no commercial purpose other than the avoidance of tax are inserted into a transaction (Furniss v. Dawson). Controversially, in the 2004 Budget, it was announced that 'promoters' and users of certain tax avoidance schemes would be required to disclose details of the schemes to the Inland Revenue.
The UK authorities use the term tax mitigation to refer to acceptable tax planning, minimising tax liabilities in ways expressly endorsed by Parliament. As set out above, on this view tax avoidance flouts the spirit of the law while following the letter and is therefore thought by some to be unacceptable, albeit not criminal in the way that evasion is. Upholding a difference between mitigation and avoidance relies on a purposive reading of legislation, and commentators disagree as to the extent to which this is permissible.
In the United States, thieves are required to report their stolen money as income when they file for taxes, but they usually do not do so, because doing so would serve as a confession of theft. For this reason, suspected thieves are sometimes charged with tax evasion when there is insufficient evidence to try them for theft.

gravatar

Carbon Taxes' Unpredictable Impact on Competitiveness

While the US Government is working on the fine print of a new carbon regulatory system, one thing is clear: we are all going to face a new tax. It's important that business leaders avoid the mistake of thinking this will be a new burden assessed on just a few, like the chemical industry and power utilities. Carbon is ubiquitous — part of every industry, and indeed, every human activity — from pharmaceuticals to farming to family field trips. This tax is inescapable, yet where and how hard it will hit is very hard to predict.
It's unpredictable because of the astonishing variation in both how the rules on upstream businesses will work their way to yours, and in the timing and amount of the tax itself. As of this writing, for example, there are a number of allowances in the Waxman-Markey bill so that electric utilities and other high carbon intensity industries won't have to buy pollution permits in the early years of a new cap and trade system. With a complicated policy patchwork to figure out, the application of this new system will feel quite random — especially to consumers, and to those suppliers who are part of long, complex industry value chains.

In fact, the impact may vary — quite a lot — between you and your competitors in the same industry.
The particulars of your technology relative to competitors, the specific suppliers you use — all may make your costs higher or lower than rivals. This makes it essential that you view this new carbon economy not as a set of regulations you need to follow, but as an opportunity to separate yourself from those who don't understand the implications of the new rules as well as you do.
This is about competitiveness, not compliance. Understanding the implications is a strategic imperative. And because the changes are going to be big, the time is now to develop your strategic intent and prepare for a new operational playbook.
Consider the following hypothetical. Starting tomorrow, the government will impose a new set of fees on everything in your company that contains blue. The more blue something is, the higher the fees. Other colors don't require fees. The choices companies made to use blue based on materials, production processes, geographic locations (proximity to blue sources) are now all subject to reevaluation because of the cost of the new government fees.
Some firms' original value proposition has little to do with blue — one makes cobalt-shaded containers, another, robin's egg-blue clothes, still another, indigo-toned cars — but now they find themselves facing the imperative to reevaluate everything they do and how they do it. Is it essential to keep their current systems in place? Are there alternatives? What are competitors doing? As every company asks these and other questions, executives at two firms facing similar options in the same industry may reach very different conclusions.

Let's agree that the rationale for reducing carbon is critically important. But let's also acknowledge the effects on business will produce outcomes that feel arbitrary and unfair.
There are big changes ahead. It will take a while for the new carbon rules to go into effect, and for businesses as well as regulators to figure out their full implications. But the impacts are large enough so that you should use this grace period to assess how the carbon tax will influence your strategy. If you take too long to move, you may get buried.

Article by : Bob Lurie

gravatar

The Small Business Case for an Internet Sales Tax

eCommerce is finally a staple of the US economy. Comscore reported a record holiday season with total spending exceeding $29 billion dollars across a two month period. eCommerce continued to grow, despite the worst economic downturn since the Great Depression. This included a record day of nearly one billion dollars! For many people, the main advantage is convenience, variety and of course price comparisons. But there is also a huge hidden advantage in the United States: no sales tax.
For years, Internet commerce has had a hugely advantageous tax loophole, wherein the majority of purchases are not subject to sales tax. But that will likely change given the fiscal crisis that is looming for many state governments. What has been stopping this change to date has been that everyone hates the idea of taxing businesses on the Internet: Consumers hate it because they will need to pay state taxes; Small businesses hate it because they will become less competitive online and will have a logistics nightmare trying to tax across numerous states; Internet businesses hate it because they lose a huge competitive advantage against brick-and-mortar stores. And of course, all this will ultimately lead to lower sales (and taxes) so even the municipalities fare poorly.
But that is what economists call "short range thinking." As Stanford's Thomas Sowell eloquently expressed, people often think through problems one layer deep but we need to move beyond stage one to truly understand the economic impact of a fiscal decision. It is true that in the short run, taxing small businesses has serious disadvantages. The long term effects of an Internet sales tax, however, are beneficial to almost everyone:
Small Businesses: Many small businesses will likely stop selling across state lines. The cost of doing business with a convoluted state tax system is far more costly than the benefits. This disadvantage will certainly hurt many small businesses who sell out of state...in the short run.
But I believe that small businesses have the most to gain by having this tax. A main advantage for small businesses is that they are a part of the community. This enables trust, a higher service level, and loyalty. In fact, most small businesses, even those that offer ecommerce, principally sell to their local market — most often offline. Plus, most consumers want to see an item before they purchase it (that's why so many online stores offer free return shipping). Today, many consumers actually look at a product locally and then buy online to find a cheaper price — and to avoid sales tax. But once the tax loophole is closed, small businesses can grow their local customer base, where they have a true competitive advantage (price is never a competitive advantage).
eCommerce Businesses. Internet companies will need to start charging taxes, just like their counterparts offline. This will certainly impact the price advantage online stores have held and that may impact sales in the short run. But they will also face less competition as a result. Many small businesses that had been competing online will cease to do so. This will give eCommerce providers more dominance in the marketplace, particularly for products that are most conducive to online sales (such as Jeff Bezos' top 20 list).
State Governments. Local governments will see increases in taxes, both from eCommerce (particularly from those pesky online stores that locate in 0% tax havens) but also because small business revenues will grow as people focus more on service and less on price. This tax is a huge boon to states that desperately need funding.
As a consumer, you may not want to pay an additional tax. But this is not really a tax increase; it's just closing a tax loophole. And while as a consumer you may rebel against the idea of an internet sales tax, remember that we all wear multiple hats: perhaps you'll pay a little more as a shopper, but that slight cost will be outweighed by the benefits to your business or the services offered by your state government.
Considering there are almost thirty million small businesses in the United States, and most of those are sole proprietorships, the benefits to the small businesses should outweigh the costs. And our local governments are suffering massively. Services are being cut and taxes have to be raised. But before we raise taxes, let's start by eliminating loopholes such as this one.

gravatar

Does Tax Time Need To Be So Taxing?

If there is anything that unites politicians and the general public it's the belief that the U.S. tax system is too darn complicated. Yet somehow the process of paying taxes has resisted almost every attempt at simplification. It's an amazing paradox: The one thing we all agree on seems to be the one area where it is virtually impossible to make progress. What's going on?
Let me start by saying that I am not referring to fundamental changes in tax policy, such as the introduction of a "flat tax" or replacing incomes taxes with a national sales tax. While these proposals may simplify the process, for this post I'm assuming that we will continue to have a tax system with different rates for different income levels.
However, within our current system, even the Commissioner of Internal Revenue Service, Douglas Shulman, admits that he uses a professional tax preparer for his returns because the tax code is too complex. Thus it is no surprise that virtually every president and every Congress for the last 20 years has vowed to simplify taxes, including President Obama. Almost a year ago, he condemned what he called the "monster tax code," which has grown to more than 5600 pages and 3.7 million words. To slay this monster, he asked Paul Volcker, chairman of the President's Economic Recovery Advisory Board, to appoint a tax reform task force that would develop recommendations by the end of 2009. But to date the task force has not presented anything.
Meanwhile, other proposals have been tossed on the table, the latest a bipartisan plan by Senators Judd Gregg (R-NH) and Ron Wyden (D-OR). And the chances of this bill passing? You get the point.
So, I ask again, what's going on? Here's one possibility: Over the years, the government turned the tax code over to technical experts, who wrote the regulations, forms, and processes in their own language without regard for the end-user, the citizen, who would be required to use them. As the language and process became more and more arcane, fewer end-users could actually do their own taxes, so an industry of "tax preparers" formed to provide an interface between the tax payer and the taxing authorities. It is estimated that there are at least one million tax preparers in the United States; and that this year 60% of all taxpayers will use a professional and another 20% will use tax preparation software (another industry). In essence, the government has created a process for citizens that most citizens can't navigate.
Now if the government was a private sector company, and there were competitive alternatives, many of the alienated and disenfranchised customers would have gone elsewhere. But there is no alternative to paying taxes — so the pressure for reform doesn't really exist as it would with a private company. At the same time, the industries that the technical tax process has spawned are now very powerful, with significant lobbying and communication ability. It's in their best interest for the tax process to continue to be complex, and therein lies the cause for the stalemate.
There is, however, a glimmer of hope for simplification. Oddly enough, it comes from the IRS itself. There is nothing to stop the IRS, if it has the will and courage, to simplify the language and process of paying taxes. And in the past year, under the leadership of Commissioner Shulman, positive steps have indeed been taken in that direction. For example, more than half of all 2009 returns will be filed electronically, a process that the IRS has finally embraced. The IRS has also set up a permanent "Office of Taxpayer Correspondence," which identifies and acts on ideas for simplifying communication and has already streamlined various tax collection "notice letters" and inserts. The IRS also is beginning a process of certifying professional tax preparers, which is probably a good thing (even if it reinforces the power of the technical industry).
To be sure, filing taxes is still a long way from simple. But a little bit of progress is certainly better than no progress at all.