gravatar

MEMBANGKITKAN NASIONALISME EKONOMI

Oleh Audith M Turmudhi
(Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”,  18 Agustus 2004)


            Dahulu bangsa Indonesia begitu jelas merumuskan musuh bersama yang harus dilawan, yaitu kaum penjajah. Tak ada pilihan lain, tak ada keraguan di hati anak-anak bangsa, penjajah yang telah menelikung dan menghisap kehidupan bangsa harus dilawan habis-habisan. Menunda perlawanan dan membiarkan diri dalam ketercerai-beraian berarti memperpanjang kesengsaraan kehidupan bangsa.  Dari situlah rasa cinta tanah air menemukan bentuk tindakan kongkretnya yaitu bahu-membahu berjuang mengorbankan harta benda dan jiwa raga untuk mengusir musuh bersama yang menjadi biang kerok kesengsaraan bangsa itu.
            Sekarang siapakah musuh bersama kita? Bahkan, masih adakah musuh bersama kita? Agaknya kita kehilangan persepsi dan orientasi yang jelas mengenai hal itu. Hiruk-pikuk perpolitikan nasional maupun daerah yang sangat telanjang mempertontonkan nafsu saling berebut dalam mengedepankan kepentingan kelompok maupun pribadi yang berakibat melemahnya kekuatan kita sebagai bangsa, jelas menunjukkan hilangnya kesadaran kebangsaan kita di tengah-tengah sengitnya percaturan ekonomi dunia yang semakin mengglobal. Kalau kita melihat ke luar dan menyadari betapa dahsyatnya kompetisi perekonomian dunia yang sedang berlangsung dan betapa terancamnya perekonomian kita sekarang apalagi di masa depan, barangkali semua konflik internal itu akan tampak sebagai kekanak-kanakan dan memalukan. Bagaimana tidak? Di tengah-tengah gempuran para pelaku ekonomi dunia yang makin hebat, persaingan yang makin sengit, dan keterseokan perekonomian kita di tengah-tengah semakin berjayanya perekonomian negara-negara lain, bagaimana bisa kita masih saja sibuk saling cakar dan saling gigit?
***
            Dunia yang kita diami sekarang sedang memasuki tatanan perdagangan bebas yang jelas sangat luar biasa dampaknya bagi perekonomian kita. Untuk negara-negara ASEAN pasar bebas sudah dimulai sejak tahun 2003. Untuk wilayah Asia Pasifik mulai tahun 2010. Untuk seluruh dunia mulai tahun 2020. Perdagangan bebas yang berarti bebasnya aliran barang dan jasa memasuki batas-batas negara tanpa hambatan tarif maupun non-tarif, yang berarti pula pelaku-pelaku bisnis akan head to head adu kekuatan dan kecerdikan dalam persaingan  bisnis internasional, menghadirkan peluang besar sekaligus ancaman serius bagi perekonomian suatu negara. Bagi negara-negara yang pelaku bisnisnya sudah hebat, pasar bebas berarti peluang besar untuk leluasa memasarkan barang dan jasanya menembus batas-batas negara. Pasar menjadi terbuka begitu luas. Bagi negara yang daya saing para pelaku bisnisnya masih lemah seperti negara kita, pasar bebas berarti ancaman serius. Negara kita yang  begitu luas dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta ini hanyalah berarti pasar empuk bagi pemain-pemain bisnis asing. Masyarakat konsumen kita akan dimanjakan oleh begitu banyaknya pilihan produk-produk asing yang lebih kompetitif dan lebih menarik dibanding produk-produk nasional maupun lokal. Namun rontoknya produsen-produsen nasional dan lokal karena kalah bersaing tak akan tertahan. Itu berarti bangsa kita hanya akan menjadi bangsa konsumen, bukan bangsa produsen. Itupun daya belinya hanyalah didukung oleh penjualan hasil-hasil alam dan sekedar dari upah sebagai buruh atau kaki-tangan (untuk tidak menyebut komprador) dari beroperasinya perusahaan-perusahaan asing. Jelaslah kalau demikian dinamikanya, di masa depan kita hanya akan menjadi bangsa miskin di tengah-tengah negara-negara lain yang makin kaya.
            Sekarangpun gejalanya sudah tampak jelas. Ketika pendapatan per kapita negara Malaysia sudah mencapai US$ 10 ribu dan Singapore sudah mencapai US$ 24 ribu, kita masih berada pada sekitar US$ 700. Alangkah jauhnya ketertinggalan kita! Sementara di pasaran, produk-produk asing begitu membanjir. Minuman ringan, makanan, buah-buahan, barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, atau apa saja. Semua serba asing, menggusur daya produksi nasional dan lokal kita.
***
            Kini saatnya sudah mendesak. Kita harus membangkitkan nasionalisme ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggempur kita. Sama seperti para pejuang kemerdekaan dahulu yang mengonsolidasikan diri, bahu-membahu bersama rakyat melawan kaum penjajah, kitapun harus melakukan hal serupa.  Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong dan menyelamatkan bangsa?  Kalau sektor negara tidak mungkin menolak perdagangan bebas karena  kita tidak mau dikucilkan dari perdagangan dunia, maka sektor masyarakat dapat berbuat banyak kalau sanggup mengonsolidasikan diri.
            Pertama, masyarakat konsumen harus lebih memilih produk-produk nasional atau lokal dibanding produk-produk asing. Ini merupakan bentuk nyata dari nasionalisme atau kecintaan kepada bangsa. Seperti di Jepang, produk-produk asing begitu sulit di pasarkan, bukan karena hambatan masuk, melainkan karena begitu cintanya masyarakat Jepang terhadap produk bangsa sendiri. Mereka begitu sadar bahwa kalau bukan bangsa sendiri yang mau menolong, lantas siapa yang mau menolong diri mereka. Mustinya kita juga  bisa begitu.
            Kedua, masyarakat produsen harus committed untuk membalas cinta konsumen dengan cinta yang tidak kalah besarnya. Kesetiaan konsumen harus dibalas dengan kesungguhan tiada tara untuk memberikan kualitas produk dan pelayanan yang terus meningkat. Untuk ini, lagi-lagi kita boleh meniru sikap masyarakat Jepang. Di sana produk untuk pasar dalam negeri justru dibuat oleh para produsen lebih unggul kualitasnya dibanding produk untuk ekspor. Cinta konsumen dalam negeri tidak dihianati dengan memberi produk berkualitas jelek. Di sini justru terbalik, pernyataan "kualitas ekspor" pada suatu produk artinya produk tersebut berkualitas lebih baik dibanding produk untuk pasar dalam negeri!
            Ketiga, pihak-pihak yang terkait dengan dunia usaha, terutama birokrasi pemerintahan dan keamanan janganlah melakukan tindakan-tindakan a-nasionalis seperti mempersulit proses perizinan atau melakukan pungutan-pungutan liar bahkan "pemerasan" terhadap pengusaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menurunnya daya saing. Nasionalisme mereka haruslah berwujud tindakan-tindakan nyata untuk mendorong dan membantu kaum pengusaha agar cepat maju dan berkembang, sehingga para pengusaha dapat menyetor pajak yang besar untuk kepentingan negara dan menciptakan lapangan kerja.
            Keempat, para pelaku usaha harus memperluas wawasan bisnisnya, bahwa pasar bukanlah sekedar dalam negeri. Jika mereka hanya berkutat dengan pasar dalam negeri pasti hanya soal waktu kapan mereka akan keok oleh gempuran pemain-pemain asing. Bukan strategi bertahan, melainkan strategi menyerang kalau mereka mau menang dalam persaingan global. Sekarang ini masih sedikit jumlah pengusaha kita yang sudah memasuki tahapan ekspor atau tahapan internasional. Kebanyakan masih pada tahapan domestik alias tahapan kesatu. Padahal, seperti disebutkan oleh ahli pemasaan internasional Warren J Keegan, banyak perusahaan kelas dunia sudah berada pada tahapan kelima, yaitu transnasional (yang merupakan tahapan lanjut dari tahapan multinasional dan tahapan global). Alangkah jauhnya!
            Kelima, para pemimpin, para tokoh, public figure, media massa nasional maupun lokal harus terus menerus menggelorakan semangat nasionalisme ekonomi ini melalui kata-kata dan terutama melalui tindakan keteladanan. Lembaga swadaya masyarakat semacam YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dapat membantu masyarakat konsumen untuk dapat mengenali nasionalitas suatu produk dengan setidak-tidaknya mendorong dilakukannya penandaan oleh produsen untuk produk-produk yang di mata konsumen kurang jelas kadar nasionalitasnya. Misalnya tanda berwarna hijau untuk produk yang murni nasional dan tanda berwarna kuning untuk produk yang kadar nasionalitasnya tergolong tinggi meskipun tidak murni nasional. Tindakan ini dapat dipandang sebagai bagian dari pelayanan atas hak masyarakat konsumen akan informasi produk.
            Memang, semua itu mudah diucapkan dan sulit dilakukan, bukan? Namun, kalau ada kemauan kuat bersama-sama, tidak ada hal yang mustahil. Dalam suasana peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-59 saat ini  sungguh penting untuk kita melakukan penyadaran akan perlunya pewujudan nasionalisme dalam tindakan-tindakan nyata untuk membela dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggila.