gravatar

Pajak Pertambahan Nilai Berganda pada Bank Syariah



 Salah satu poin penting dalam Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN. Meskipun berulang kali SE ini mendapat tantangan dari kalangan perbankan syariah, termasuk Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah yang menyatakan pengenaan PPN tersebut sebagai pajak berganda (double taxation), serta adanya pemboikotan, sampai saat ini Dirjen Pajak belum mencabut SE tersebut. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai transaksi Murabahah, pajak berganda serta layak tidaknya transaksi tersebut dikenakan PPN.

Tinjauan Bank Syariah dan Transaksi Murabahah
Bank Syariah merupakan bank yang dijalankan dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah, atau dengan kata lain mengacu pada Al’Quran dan Hadits. Di Indonesia, operasional syariah ini diatur dalam UU No. 7 tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Aturan ini dibuat dengan latar belakang adanya keyakinan dalam agama Islam yang melarang praktek-praktek tertentu yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, terutama pengenaan riba (bunga). Dengan batasan ini, produk perbankan Syariah harus dimodifikasi untuk menghindari riba (serta larangan-larangan lain) tersebut. Salah satu produk hasil modifikasi tersebut adalah pembiayaan dengan akad "Murabahah", yaitu akad jual beli.

Dasar hukum dari produk Murabahah ini antara lain adalah Surat Al Baqarah, ayat 275: ”Bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Dengan akad ini, penyerahan barang dari penjual (bank Syariah) kepada pembeli (nasabah) merupakan syarat mutlak dilakukannya proses pembiayaan. Untuk dapat menyerahkan barang tersebut kepada nasabah, bank Syariah harus terlebih dulu memilikinya, yang berarti harus membeli barang tersebut dari pemasok. Untuk lebih jelasnya berikut adalah ilustrasi perbandingan akad Murabahah dengan kredit pada bank konvensional untuk pembelian mobil:
Pajak Pertambahan Nilai Berganda

PPN atas Transaksi Murabahah

Bila kedua transaksi penyerahan mobil di atas dikenakan PPN sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini (diasumsikan harga tersebut belum termasuk PPN), akan terdapat perbedaan jumlah PPN yang harus dibayar oleh Nasabah (sebagai konsumen akhir) pada kedua skema pembiayaan di atas. Nasabah yang membeli dengan pembiayaan dari bank konvensional hanya membayar PPN sebesar 10% X Rp 100 juta = Rp 10 juta. Sebaliknya, Nasabah yang membeli dengan pembiayaan Murabahah harus membayar PPN sebesar 10% X Rp 120 juta = Rp 12 juta. Bila ditelusuri lebih lanjut, selisih ini merupakan 10% dari margin penjualan bank Syariah, yaitu 10% X Rp 20 juta = Rp 2 juta. Selisih ini terjadi karena pendapatan bunga pada bank konvensional bukan merupakan obyek pajak sedangkan margin pada bank syariah merupakan obyek pajak. Selisih inilah yang menyebabkan SE Dirjen Pajak ditentang habis-habisan oleh kalangan perbankan Syariah dan disebut sebagai pajak berganda, selain tentu saja kerepotan yang harus ditimbulkan dengan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pengenaan PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda.

PPN Murabahah = Pajak Berganda (Double Taxation)?

Secara sederhana, pajak berganda dapat diartikan sebagai pengenaan pajak atas obyek yang sama lebih dari satu kali. Misalnya, pendapatan yang dikenakan PPh Final tetapi diperhitungkan lagi pada penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Lawan dari pajak berganda ini adalah obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, misalnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi penerimanya tetapi dapat dibiayakan pada penghitungan PKP. Aturan perpajakan di Indonesia, dengan perbaikan yang telah dilakukan secara terus menerus, secara konsisten dilakukan dengan salah satu tujuan untuk menghindari kedua hal tersebut. Bila masih ada aturan tertentu yang tidak konsisten dengan tujuan tersebut, kemungkinan besar aturan tersebut dibuat dengan motif untuk menjalankan fungsi pengatur (regulent) untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang diinginkan. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bila PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda tetapi tetap diberlakukan oleh Dirjen Pajak.
Untuk meninjau apakah PPN atas produk Murabahah merupakan pajak berganda, berikut adalah tinjauan pengenaan PPN atas ilustrasi di atas.
Bank Syariah beli dari Dealer:
PPN = 10% X 100 juta = Rp 10 juta (PPN masukan bagi bank Syariah)
Bank Syariah jual ke Nasabah (konsumen akhir):
PPN = 10% X 120 juta = Rp 12 juta (PPN keluaran bagi bank Syariah)
PPN yang harus dibayar Bank Syariah = PPN Keluaran – PPN Masukan
= Rp 12 juta – Rp 10 juta
= Rp 2 juta
Jadi, PPN yang harus dibayar oleh bank Syariah ke kas negara adalah Rp 2 juta, yang sebenarnya dikenakan atas margin penjualan mobilnya. Margin ini belum pernah dikenakan PPN sebelumnya karena dealer hanya mengenakan PPN atas harga jualnya, yaitu Rp 100 juta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PPN tersebut bukan merupakan pajak berganda karena margin dari pembiayaan Murabahah hanya dikenakan PPN satu kali saja.

Inkonsistensi Aturan?

Meskipun bukan merupakan pajak berganda, pengenaan PPN atas produk Murabahah tetap merupakan inkonsistensi peraturan. Pendapatan bunga, yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional, tidak dikenakan PPN sedangkan margin pembiayaan Murabahah, yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan (syariah) dikenakan PPN. Inkonsistensi aturan ini menyebabkan bank Syariah harus menjual produk Murabahah lebih mahal untuk mendapat tingkat keuntungan yang sama dengan pembiayaan bank konvensional.
Konsekuensi dari adanya perbedaan di atas, konsumen harus membayar lebih mahal untuk memilih produk Murabahah dibanding produk bank konvensional. Dampaknya, bila masalah agama dikesampingkan, konsumen yang rasional akan memilih produk yang lebih murah untuk mendapat manfaat yang sama. Oleh karena itu, disengaja atau tidak, aturan ini akan menjalankan fungsi regulent-nya untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang mungkin kurang diinginkan yaitu: mengarahkan konsumen rasional untuk memilih produk perbankan konvensional.
Yustinus Sadmoko SE, MM, CIA, BKP - Prime Consulting, 20 Agustus 2007
Sumber : http://www.ortax.org/ortax/