Belajar pajak dari turki
INDONESIA dan Turki menghadapi masalah yang sulit: bagaimana membiayai pembangunan sebanyak mungkin dari sumber-sumber dalam negeri. Jumlah investasi kedua negara secara nasional lebih 20% dari pendapatan nasional. Bahkan jumlah investasi Indonesia, selama mengalami rezeki minyak, lebih tinggi lagi. Karena sumber-sumber dalam negeri tetap masih kurang, kedua negara banyak menarik utang luar negeri. Utang luar negeri Turki lebih dari US$ 30 milyar, dan dengan struktur yang lebih jelek daripada utang (pemerintah) Indonesia. Karena sebagian besar utang Turki berjangka menengah dengan bunga komersial. Mengapa mereka tidak mengalami krisis pembayaran? Karena export drive mereka sangat berhasil. Selain itu, mereka tiap tahun mendapat tambahan devisa sekitar US$ 5 milyar dari turisme, dari pengiriman pulang penghasilan tenaga kerja di luar negeri, dan dari pengangkutan (trans-shipment) lewat daratan Turki. J
umlah penerimaan pajak Turki dapat menutup 86% anggaran belanja pemerintah. Tapi, seluruh operasi pemerintah, termasuk pembiayaan proyek dan perusahaan negara dan lain-lain pengeluaran extrabudgetair, besar sekali. Sehingga terpaksa dibiayai dengan mencetak uang. Sekarang pemerintah Turki cenderung "mengebut" pembangunan dengan banyak proyek besar, yang tidak dapat dibiayai secara noninflator. Karena itu, tingkat inflasi tinggi sekali -- 35 sampai 45% setahun, tergantung indeks yang dipakai. Pembiayaan pembangunan lewat deficit-financing merupakan semacam pajak yang dibayar oleh golongan masyarakat yang pendapatan mereka tidak meningkat secepat inflasi. Golongan-golongan itu biasanya buruh dan pegawai. Tapi partai politik yang dipimpin Perdana Menteri Ozal (sifat dan riwayatnya seperti Golkar) diramalkan akan memenangkan kembali pemilihan umum bulan depan. Karena ekonomi Turki di bawah pimpinannya sangat maju dibandingkan dengan masa sebelum 1980 -- zaman "Orde Lama" mereka. Kemajuan ini berkat deregulasi dan liberalisasi ekonomi, serta mengubah arah industrialisasi dari pengganti impor menjadi orientasi ekspor. Perubahan kebijaksanaan pembangunan ini dimulai sejak militer mengambil alih pemerintahan (1980). Dari 1980 sampai 1985 laju pertumbuhan ekonomi Turki rata-rata 5% setahun. Tahun 1986 mencapai 8%. Tahun ini diperkirakan mencapai 6,8%. Penerimaan Turki dari pajak sekitar 16% dari pendapatan nasional. Di Indonesia, penerimaan pajak-pajak nonmigas, beberapa tahun setelah undang-undang perpajakan baru, naik menjadi 8% (sebelumnya: 6%) dari pendapatan nasional. Tentu, di sini masih harus dihitung pajak-pajak sektor migas yang bisa tinggi sekali, tergantung harga minyak bumi. Agar bisa menyamai angka penerimaan pajak Turki, penerimaan Indonesia, yang mau meningkatkan pemasukan pajak nonmigas sampai memadai, untuk jangka menengah harus naik 50%. Untuk jangka panjang 100%. Apakah sasaran itu merupakan tujuan yang praktis dan realistis? Apakah pemerataan beban bisa dijamin "adil"? Dan pelajaran apa yang dapat kita tarik dari pengalaman Turki? Di Turki, pajak terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak atas penghasilan dan kekayaan. Pajak tidak langsung adalah pajak penjualan nilai tambah, bea masuk, cukai, dan sebagainya. Seperti di negara berkembang lain, memungut pajak langsung lebih sukar daripada memungut pajak tidak langsung. Di Turki pun jumlah pajak atas penjualan yang dipungut melebihi pajak atas penghasilan. Di Indonesia, gejala demikian juga sudah tampak. Di Turki, sekarang ini, penerimaan dari pajak pendapatan perorangan melebihi pajak keuntungan perusahaan. Karena tarif pajak pendapatan paling rendah adalah 25%, dan langsung dipungut pada sumbernya. Sedangkan bagian yang dikecualikan pajak sangat kecil. Dibandingkan Turki, pajak pendapatan di Indonesia lebih ringan, karena tarif mulai dari 15%, dan jumlah yang dikecualikan cukup besar. Banyak pemikir Turki berpendapat bahwa sistem perpajakan mereka, walau cukup efektif, toh bersifat regresif. Artinya, beban terbesar jatuh pada golongan berpendapatan rendah dan golongan menengah yang bergaji. Tarif terendah adalah 25% dan berlaku atas pendapatan sampai 3 juta lira (sekitar Rp 5 juta) setahun. Sedangkan tarif tertinggi adalah 50%, dan mulai dari pendapatan 48 juta lira setahun. Pajak atas keuntungan perusahaan adalah 46%, tetapi menteri keuangan punya wewenang untuk meningkatkan sampai 50%. Di lain pihak, perseroan terbatas yang menjual sebagian saham kepada masyarakat bisa mendapat potongan tarif 50%. Pendapatan dari dividen tidak dikenai pajak. Pajak penjualan nilai tambah adalah 12%. Tapi untuk bahan makan dibebaskan. Dan liputannya lebih luas daripada di Indonesia. Di Turki juga ada beberapa pajak impor khusus (surcharge) untuk barang-barang mewah, seperti mobil impor dan rokok. Penerimaannya langsung masuk ke dana-dana khusus, dan dipakai untuk membiayai berbagai proyek yang bersifat sosial, seperti pembangunan rumah-rumah rakyat. Penerimaan fiskal demikian disebut nonbudgetair. Salah satu kritik partai oposisi terhadap penerimaan pajak khusus bahwa Parlemen tidak diberitahu jumlahnya. Perbedaan falsafah perpajakan Turki dan Indonesia: di sana pajak masih digunakan sebagai alat insentif untuk investasi dan ekspor, sedangkan di sini, dalam undang-undang pajak baru, hal itu sudah ditinggalkan.
Apakah pajak di Turki lebih regresif (pajak lebih banyak ditanggung golongan berpendapatan rendah) daripada di Indonesia? Tidak dapat dipastikan tanpa kupasan mendalam. Tapi kesannya: ya. Hal itu terutama karena kecilnya pengurangan terhadap pendapatan yang kena pajak, dan lagi pula tarif mulai dari 25%. Di Indonesia, tarif terendah 15%, dan masih ada bagian pendapatan yang tidak kena pajak. Pajak penjualan (nilai tambah) di Turki juga lebih tinggi sedikit (12%), dan bidang yang terkena lebih banyak, antara lain termasuk perdagangan. Di Indonesia, hal ini belum masuk. Pelajaran apa yang dapat ditarik (pemerintah) Indonesia dari pengalaman Turki? Pemerintah Turki sudah berhasil memungut pajak jauh lebih banyak daripada pemerintah Indonesia. Di lain pihak, pemerintah Indonesia yakin bahwa prinsip-prinsip yang mendasari undang-undang pajak baru lebih baik daripada undang-undang lama. Misalnya, apakah pajak wajar dipakai sebagai alat pemberian insentif. Falsafah fiskal baru Indonesia mengatakan, insentif kalau mau diberikan dalam bentuk subsidi, sehingga jumlahnya kentara dan dapat dimonitor. Insentif terpenting dalam perpajakan baru Indonesia bahwa tarifnya sudah diturunkan. Dan, sekarang, memang lebih rendah daripada di Turki. Kalau pemungutan pajak di Indonesia harus ditingkatkan 50% sampai 100%, atau dari 8% menjadi 16% dari pendapatan nasional, apakah sifat regresivitas seperti di Turki dapat dielakkan? Beban pajak kepada masyarakat Indonesia selama empat Pelita sebetulnya tidak berat. Karena pembiayaan pembangunan banyak didasarkan pada pajak atas migas, yang sifatnya adalah orang asing yang membayar pajak setiap kali membeli migas dari Indonesia. Utang luar negeri untuk sementara juga meringankan beban pajak Indonesia. Tapi selama Pelita IV angsurannya mulai memberatkan beban pajak, karena angsuran utang ini merupakan pengeluaran rutin yang harus dibiayai penerimaan pajak. Akhirnya, masyarakat Indonesia tidak dapat lolos lagi dari cengkeraman pajak. Tapi bagian masyarakat yang mana? Idealnya, sistem pajak harus adil. Artinya, mereka yang lebih mampu harus membayar lebih banyak.
Dalam praktek, hal itu sukar sekali dicapai. Di lain pihak, perpajakan untuk pembangunan juga tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan: siapa yang harus lebih banyak membangun, pemerintah atau swasta? Kalau swasta harus menjadi penanggung pembangunan, terutama di sektor perindustrian, dari mana swasta harus mendapatkan dana untuk investasi? Kalau swasta dikenai pajak yang banyak, pemerintah harus menyediakan banyak kredit lunak. Kalau tidak, hanya golongan pengusaha kuat saja -- misalnya perusahaan asing multinasional -- yang dapat tumbuh. Karena ekspansi mereka dapat dibiayai dari kredit luar negeri. Hal demikian bisa menyinggung sentimen nasionalisme ekonomi. Di Turki, beban pajak memang lebih banyak jatuh pada golongan nonpengusaha. Karena dunia usaha Turki, yang mendapat banyak fasilitas, terutama untuk ekspor, menjadi pendukung pemerintah sekarang. Dalam pemilihan umum November depan, suara terbanyak diperkirakan akan menguntungkan PM Ozal, karena ekonomi Turki sedang mengalami kemajuan yang besar. Tapi sebagian ekonom mulai cemas bahwa ekonomi sedang memanas (overheated), dan Turki beberapa tahun mendatang bisa mengalami krisis pembayaran lagi. Anggota delegasi Indonesia dalam seminar ekonomi Turki-Indonesia di Istambul, pekan lalu.
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/arsip.php ( 31 Oktober 1987)