Negeri yang Menangis
MEDIA INDONESIA, Selasa, 15 Juni 2010 00:00 WIB
Kini, Indonesiaku sedang berlinang air mata ratapan anak negeri yang disesah perilaku keji korupsi (corruption cabal). Korupsi di belahan republik ini layaknya menyingkap 'aurat' ketimuran bangsa sebagai santapan lezat (nafsu) kemenangan elitis 'para pejabat' di kursi-kursi pongahnya.
Lihatlah bagaimana sempatnya 'anggodoisasi' peradilan begitu leluasa dipertontonkan di negeri yang selalu melorot indeks persepsi korupsinya, meski Freedom House menyebut kita sebagai kampiun demokrasi. KPK yang merupakan cermin harapan jutaan rakyat Indonesia dibuat terseok-seok. Bayangkan sudah setengah tahun lebih energi bangsa terkuras untuk sebuah pelemahan sistematis komisi independen ini. Sang peniup peluit, Susno, harus mengemis-ngemis perlindungan negara untuk informasi-informasi penting terkait dengan kasus-kasus sejumlah pejabat penting yang merampok uang negara. Sementara di sisi lain elite kita terus saja sibuk menabur citra politiknya seperti lakon DPR kita di Senayan yang tak tahu malu menuntut dana aspirasi (dansa)--yang katanya--untuk pemerataan pembangunan dengan masing-masing memperoleh Rp15 miliar per tahun.
Padahal sebelumnya pemerintah juga sudah memberi anggota DPR semacam dana operasional sebesar Rp100 miliar per komisi yang tentunya akan semakin memewahkan kehidupan 'extravaganza' mereka setelah semua yang 'melekat di badan' mereka telah dibayar oleh rakyat. Dana aspirasi atau pun dana pedesaan/kelurahan yang digagas Golkar tetap akan menimbulkan skeptisisme publik ketika penskenarioan kepentingan publik begitu mudahnya dipentaskan dalam konflik kepentingan antarelite yang ujung-ujungnya hanya mengorbankan kepentingan rakyat.
Skeptisisme publik bisa berbuntut benar dengan bersandar pada asumsi miris bahwa berbagai kasus dan wacana yang diangkat elite ke permukaan khalayak akhir-akhir ini lebih sebagai pencerminan pertukaran kepentingan mirip fragmen Dramawan Marlove dalam karyanya The Jew of Malta yang intinya menampilkan suatu episode cerita sensasional nan bijak yang sesungguhnya direkayasa demi mengamankan tujuan-tujuan pribadi para perekayasanya. Semua ini menarik dan populis, tetapi sesungguhnya hanya sebuah manifestasi kekuatan kekuasaan untuk memanipulasi kesadaran publik. Proses ini yang coba dilakukan Machiavelli ketika ia mencoba memberi warna pada setiap kebijakan negara sehingga di masanya negara selalu identik dengan amoralitas yang melahirkan politisi mati rasa.
Ahmad Syafii Ma'arif sedang tidak melebih-lebihkan ketika dalam kuliah umumnya bertema Memberi wajah manusia pada kapitalisme, mungkinkah? mengatakan, "Elite kita sudah mati rasa." Cita rasa ketimuran yang punya rasa malu, solider, dan berempati tak lagi ditemui dalam diri elite kita.
Democrazy
Bayangkan, walau pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono telah mencanangkan reformasi birokrasi yang diinisiasi di Depkeu, BPK, dan MA sebagai pilot project-nya. Tapi di tengah bertalu-talunya genderang reformasi birokrasi itu, kabar pahit justru dari Ditjen Pajak, bahwa kasus penggelapan pajak yang diselidiki per awal tahun 2008 ada sebanyak 50 kasus. Total perkiraan kerugian negara sebesar Rp325 miliar yang jika digabung dengan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp1,625 triliun (Putra, 2009). Rentetan duit rakyat yang digelapkan pun terus bertambah hingga kasus Gayus di 2010 ini terkuak. Itu berarti reformasi birokrasi belum memberi harapan. Ada celah-celah birokrasi hukum yang memberi awan surga bagi perlawanan balik sang koruptor.
Ironisnya, semuanya berlangsung di negeri demokratis yang memvalidasi sebuah 'perangkap' idealisme bahwa masyarakatnya akan dikurung dalam cita-cita keadilan dan kesejahteraan lewat konstruksi moral perangkat institusi negaranya. Kita terkecoh, sebab buzzword (kata ajaib) demokrasi ala kita menyerupai analog Plato dalam bukunya yang keenam, The Republic. Ia menggenapkan demokrasi superfisial dalam analog kapten kapal yang tuli, rabun dekat, dan tolol yang menggambarkan politisi, birokrat pengguna instrumen kekuasaan publik--orang dengan cakrawala yang terbatas.
Mereka saling sengit berebut posisi kapten tanpa punya keterampilan bernavigasi dan membaca cuaca yang andal melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Maka, jabatan/kekuasaan tiba di tangan bukan karena kualitas dan integritas diri, melainkan karena sistem merasa 'memang sudah waktunya'.
Bukankah juga korupsi sungguh sudah menjadi 'formula baku' sistem politik kekinian (Lay, 2006) seperti bursa pemilu kada, hanya mereka yang dekat dengan resources politik dan 'mampu membayar' sajalah yang berpeluang besar menjadi pemenang. Padahal, nominalitas jabatan yang diraih saat berkuasa tak seberapa. Selebihnya, pasti 'lembur' mencari uang haram dengan berbagai cara pintas.
Orang-orang dalam kekuasaan seperti itu pastilah orang yang tuli mendengar suara nurani, gagal membaca kepentingan orang yang terjauh dari habitatnya-–karena ia memang lebih peduli pada diri dan dinastinya--serta bodoh menerjemahkan kekuasaan sebagai navigasi menuju dermaga kesejahteraan bersama (bonum comune). Demokrasi seperti ini tak ubahnya democrazy yang melahirkan manusia yang sibuk menjarah isi kapal bangsa ketimbang menyiasati hadangan badai topan.
Almarhum Selo Sumardjan dalam buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard (1998) mengatakan, "Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia."
Jauh sebelumnya, Mochtar Loebis sudah mencetuskan wajah manusia Indonesia yang sesungguhnya 'tak berwajah' di mata republik yang agung, bermartabat, di antaranya hidup tanpa punya malu dan selalu menyukai jalan pintas.
Kanker jalan pintas yang menggerogoti kultur keseharian kita seperti saat kita memaknai sindrom kapitalisme yang dicandu mentah-mentah oleh para kaum pemuja hedonis dan konsumtivisme. Padahal di titik inilah toksin korupsi mulai meracuni bangsa.
Berwajah ganda
Bukankah korupsi itu juga sebadan dengan kapitalisme (Bel dan Capra, 1960)- yang berwajah ganda dan adaptif. Dirinya bisa menjadi puncak sejarah keselamatan dan nirwana para orang-orang jahat (bad guys) sekaligus bisa memorak-morandakan peradaban manusia. Laksana kapitalisme yang mampu beradaptasi di segala lini zaman, korupsi kini hadir dalam masyarakat konsumtif-kapitalis yang melempangkan transformasi kultur sebagai seni hidup tatkala interaksi sosial warga lebih mengakomodasi orang kaya--tetapi kotor--dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Bahkan yang bersih bisa dikorbankan di altar perkongsian kepentingan politik miopi.
Inilah mungkin indikasi dari era post-modernisme yang menyangkal 'rasionalitas tunggal' (kematian metanaratif) (Lyotard, 1984). Bahwa koruptor jangan semata dipandang sebagai manusia zombi atau monster tikus pengerat moralitas, tetapi dia juga sosok dewa bercahaya yang disembah 'publik', dimuliakan sebagai kaum berada (the have’s), yang bahkan memberikan jasa darah segar bagi suburnya klientalisme kekuasaan tempat ia hidup dan mencari makan. Karena itu, ia (korupsi) tetap dibutuhkan untuk menggemukkan para machiavellian republik yang kian kemaruk dan lupa daratan, selain diri sendiri.
Sudah separah inikah Indonesia sehingga moralitas, kejujuran, dan nasionalisme harus pensiun dini dari republik uzur yang para pemimpinnya justru diam-diam trengginas 'menangkar' para koruptor ini?
Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Undana
Lihatlah bagaimana sempatnya 'anggodoisasi' peradilan begitu leluasa dipertontonkan di negeri yang selalu melorot indeks persepsi korupsinya, meski Freedom House menyebut kita sebagai kampiun demokrasi. KPK yang merupakan cermin harapan jutaan rakyat Indonesia dibuat terseok-seok. Bayangkan sudah setengah tahun lebih energi bangsa terkuras untuk sebuah pelemahan sistematis komisi independen ini. Sang peniup peluit, Susno, harus mengemis-ngemis perlindungan negara untuk informasi-informasi penting terkait dengan kasus-kasus sejumlah pejabat penting yang merampok uang negara. Sementara di sisi lain elite kita terus saja sibuk menabur citra politiknya seperti lakon DPR kita di Senayan yang tak tahu malu menuntut dana aspirasi (dansa)--yang katanya--untuk pemerataan pembangunan dengan masing-masing memperoleh Rp15 miliar per tahun.
Padahal sebelumnya pemerintah juga sudah memberi anggota DPR semacam dana operasional sebesar Rp100 miliar per komisi yang tentunya akan semakin memewahkan kehidupan 'extravaganza' mereka setelah semua yang 'melekat di badan' mereka telah dibayar oleh rakyat. Dana aspirasi atau pun dana pedesaan/kelurahan yang digagas Golkar tetap akan menimbulkan skeptisisme publik ketika penskenarioan kepentingan publik begitu mudahnya dipentaskan dalam konflik kepentingan antarelite yang ujung-ujungnya hanya mengorbankan kepentingan rakyat.
Skeptisisme publik bisa berbuntut benar dengan bersandar pada asumsi miris bahwa berbagai kasus dan wacana yang diangkat elite ke permukaan khalayak akhir-akhir ini lebih sebagai pencerminan pertukaran kepentingan mirip fragmen Dramawan Marlove dalam karyanya The Jew of Malta yang intinya menampilkan suatu episode cerita sensasional nan bijak yang sesungguhnya direkayasa demi mengamankan tujuan-tujuan pribadi para perekayasanya. Semua ini menarik dan populis, tetapi sesungguhnya hanya sebuah manifestasi kekuatan kekuasaan untuk memanipulasi kesadaran publik. Proses ini yang coba dilakukan Machiavelli ketika ia mencoba memberi warna pada setiap kebijakan negara sehingga di masanya negara selalu identik dengan amoralitas yang melahirkan politisi mati rasa.
Ahmad Syafii Ma'arif sedang tidak melebih-lebihkan ketika dalam kuliah umumnya bertema Memberi wajah manusia pada kapitalisme, mungkinkah? mengatakan, "Elite kita sudah mati rasa." Cita rasa ketimuran yang punya rasa malu, solider, dan berempati tak lagi ditemui dalam diri elite kita.
Democrazy
Bayangkan, walau pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono telah mencanangkan reformasi birokrasi yang diinisiasi di Depkeu, BPK, dan MA sebagai pilot project-nya. Tapi di tengah bertalu-talunya genderang reformasi birokrasi itu, kabar pahit justru dari Ditjen Pajak, bahwa kasus penggelapan pajak yang diselidiki per awal tahun 2008 ada sebanyak 50 kasus. Total perkiraan kerugian negara sebesar Rp325 miliar yang jika digabung dengan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp1,625 triliun (Putra, 2009). Rentetan duit rakyat yang digelapkan pun terus bertambah hingga kasus Gayus di 2010 ini terkuak. Itu berarti reformasi birokrasi belum memberi harapan. Ada celah-celah birokrasi hukum yang memberi awan surga bagi perlawanan balik sang koruptor.
Ironisnya, semuanya berlangsung di negeri demokratis yang memvalidasi sebuah 'perangkap' idealisme bahwa masyarakatnya akan dikurung dalam cita-cita keadilan dan kesejahteraan lewat konstruksi moral perangkat institusi negaranya. Kita terkecoh, sebab buzzword (kata ajaib) demokrasi ala kita menyerupai analog Plato dalam bukunya yang keenam, The Republic. Ia menggenapkan demokrasi superfisial dalam analog kapten kapal yang tuli, rabun dekat, dan tolol yang menggambarkan politisi, birokrat pengguna instrumen kekuasaan publik--orang dengan cakrawala yang terbatas.
Mereka saling sengit berebut posisi kapten tanpa punya keterampilan bernavigasi dan membaca cuaca yang andal melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Maka, jabatan/kekuasaan tiba di tangan bukan karena kualitas dan integritas diri, melainkan karena sistem merasa 'memang sudah waktunya'.
Bukankah juga korupsi sungguh sudah menjadi 'formula baku' sistem politik kekinian (Lay, 2006) seperti bursa pemilu kada, hanya mereka yang dekat dengan resources politik dan 'mampu membayar' sajalah yang berpeluang besar menjadi pemenang. Padahal, nominalitas jabatan yang diraih saat berkuasa tak seberapa. Selebihnya, pasti 'lembur' mencari uang haram dengan berbagai cara pintas.
Orang-orang dalam kekuasaan seperti itu pastilah orang yang tuli mendengar suara nurani, gagal membaca kepentingan orang yang terjauh dari habitatnya-–karena ia memang lebih peduli pada diri dan dinastinya--serta bodoh menerjemahkan kekuasaan sebagai navigasi menuju dermaga kesejahteraan bersama (bonum comune). Demokrasi seperti ini tak ubahnya democrazy yang melahirkan manusia yang sibuk menjarah isi kapal bangsa ketimbang menyiasati hadangan badai topan.
Almarhum Selo Sumardjan dalam buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard (1998) mengatakan, "Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia."
Jauh sebelumnya, Mochtar Loebis sudah mencetuskan wajah manusia Indonesia yang sesungguhnya 'tak berwajah' di mata republik yang agung, bermartabat, di antaranya hidup tanpa punya malu dan selalu menyukai jalan pintas.
Kanker jalan pintas yang menggerogoti kultur keseharian kita seperti saat kita memaknai sindrom kapitalisme yang dicandu mentah-mentah oleh para kaum pemuja hedonis dan konsumtivisme. Padahal di titik inilah toksin korupsi mulai meracuni bangsa.
Berwajah ganda
Bukankah korupsi itu juga sebadan dengan kapitalisme (Bel dan Capra, 1960)- yang berwajah ganda dan adaptif. Dirinya bisa menjadi puncak sejarah keselamatan dan nirwana para orang-orang jahat (bad guys) sekaligus bisa memorak-morandakan peradaban manusia. Laksana kapitalisme yang mampu beradaptasi di segala lini zaman, korupsi kini hadir dalam masyarakat konsumtif-kapitalis yang melempangkan transformasi kultur sebagai seni hidup tatkala interaksi sosial warga lebih mengakomodasi orang kaya--tetapi kotor--dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Bahkan yang bersih bisa dikorbankan di altar perkongsian kepentingan politik miopi.
Inilah mungkin indikasi dari era post-modernisme yang menyangkal 'rasionalitas tunggal' (kematian metanaratif) (Lyotard, 1984). Bahwa koruptor jangan semata dipandang sebagai manusia zombi atau monster tikus pengerat moralitas, tetapi dia juga sosok dewa bercahaya yang disembah 'publik', dimuliakan sebagai kaum berada (the have’s), yang bahkan memberikan jasa darah segar bagi suburnya klientalisme kekuasaan tempat ia hidup dan mencari makan. Karena itu, ia (korupsi) tetap dibutuhkan untuk menggemukkan para machiavellian republik yang kian kemaruk dan lupa daratan, selain diri sendiri.
Sudah separah inikah Indonesia sehingga moralitas, kejujuran, dan nasionalisme harus pensiun dini dari republik uzur yang para pemimpinnya justru diam-diam trengginas 'menangkar' para koruptor ini?
Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Undana