Tiga jurus menghindari pajak
MENURUT Filsuf Ibnu Khaldun, orang akan berkelit dari pajak jika pemerintah menganut sistem perpajakan yang melampaui batas tata krama dan kebudayaanmasyarakat tradisional. Pendapat ini tertulis dalam bukunya Muqadimah. Di situ disebutkan, mula-mula pemerintah akan memperoleh penerimaan besar dengan menerapkan pajak yang kecil. Lama-lama penetapan pajak jadi lebih besar, hingga akhirnya penerimaan yang diperoleh malah iadi lebih kecil. Celakanya, kata Khaldun, pemerintah selalu mulai melaksanakan perpajakan dengan ramah, untuk kemudian menjurus ke sikap yang sewenang-wenang.
Di Indonesia Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU No. 7/1983) sulit dikatakan keras atau ramah. Jika pemerintah memberikan penghargaan kepada pembayar pajak terbesar, barangkali pertanda pemerintah masih ramah. Sekalipun begitu,selalu saja ada orallg yang berkelit dari pajak. Ini pun terjadi di mana saja di dunia. Ada cara yang disebut tax avoidance, ada tax evasion, ada pula tax saving. Tax avoidance: menghindar dari pajak. Langkah ini biasanya dilakukan orang jika merasa usahanya hanya sekadar kerja bakti. Gejala ini banyak terjadi di Inggris pada tahun 1970-an. Para penyanyi Beatles, misalnya, pindah ke AS karena hendak menghindar dari pajak yang tinggi di negaranya. Di AS sendiri pada awal 1980-an terjadi gejala serupa. Banyak orang kaya lari dari Kota New York atau Philadelphia, untuk pindah ke pinggiran, hanya karena ingin membangun rumah besar dan mewah. Akhirnya, pemerintah kota bangkrut, pusat-pusat kebudayaan dan sekolah jadi tak terurus. Tinggal golongan menengah yang bertahan, dan harus menanggung beban pajak yang dulunya ditanggung orang-orang kaya itu. Gejala seperti itu bukan tak mungkin terjadi di Jakarta. Mahalnya tanah serta tingginya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) akan menyebabkan orang kaya lari ke pinggiran. Sementara itu, banyak perusahaan berebut tempat dan gengsi, disegitiga emas Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto. Tapi gejala pemindahan pabrik ke luar akan semakin banyak. Tax saving: usaha untuk mencoba menabung pajak. Contoh paling populer dalam tax saving adalah fiskal ke luar negeri - Rp 250.000 sekali berangkat. Fiskal itu bisa dipakai untuk mengurangi pajak penghasilan. Semakin banyak orang bepergian ke luar negeri, semakin banyak pula ia bisa menabung. Contoh lain, penghasilan sampai Rp 10 juta dikenai pajak 15%. Di atas Rp 10 juta hingga Rp 50 juta, pajaknya 25%. Di atas Rp 50 juta terkena tarif 35%. Tapi tarif itu ternyata bisa dipermainkan. Misalnya 2 perusahaan - 1 besar dan 1 kecil - bekerja sama melakukan promosi. Dari kerja sama itu saja, kedua perusahaan itu jelas bisa menekan biaya. Keuntungan kerja sama itu bisa berlanjut lagi pada pembayaran pajak. Misalnya, promosi tadi bagi si kecil menghasilkan laba Rp5 juta - tentu saja terkena pajak 15% (Rp 750.000). Si besar ternyata meraih laba Rp 15 juta, sehingga ia harus membayar pajak Rp 2.750.000 - yakni 15% x Rp 10 juta ditambah 25% x Rp 5 juta. Secara total, keduanya harus membayar pajak Rp 3.500.000. Tapi, dengan kongkalikong, kedua perusahaan itu melaporkan laba masing-masing Rp 10 juta. Alhasil, pajak yang harus dibayar hanyalah Rp 3.000.000. Jelas, kedua perusahaan itu bisa memperoleh tabungan pajak (taxsaving) Rp 500.000. Sampai di sini, yang terjadi nampaknya lebih menjurus pada manipulasi alias tax evasion.
Tax evasion: cara wajib pajak berkelit, dengan menerobos celah-celah yang ada dalam UU. Misalnya UU tentang PPh (Pajak Penghasilan), yang terbukti banyak bolongnya. Menurut UU itu, PPh bisa dikurangi:antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan. Perinciannya banyak: beli bahan, upah, gaji, bonus, gratifikasi, sampai dengan pajak bukan PPh.
- Contoh 1. Pemakaian kendaraan dinas. "Jika kendaraan itu dipakai untuk mengangkut relasi bisnis, itu kan termasuk biaya untuk mendapatkan penghasilan," kata seorang konsultan pajak.
- Contoh 2. Biaya entertainment. Hal ini kadang-kadang bisa dimaklumi, sejauh ada batas yang wajar. Celakanya, jika anggaran begitu besar, sehingga mencurigakan. Tentu akan sulit bagi perusahaan mengungkapkan, apalagi jika yang ditraktir itu adalah pejabat.
- Contoh 3. Promosi lewat olahraga. Ketua Umum Ikatan Konsulen Pajak Indonesia, Aris Gunawan, berpendapat bahwa bukan hal aneh jika kini ada perusahaan yang mengatakan, biaya promosinya lewat olahraga bisa mencapai Rp 1 milyar. Promosi model sekarang memang luar biasa. Mulai dari pasang iklan, billboard, bikin kaus, sponsor olahraga, sampai dengan membagi-bagi hadiah. Dan promosi lewat aktivitas olahraga mudah dibuatkan buktinya dengan anggaran palsu. Mulai dari biaya panitia, konsumsi, asrama atlet, transportasi, sampai pemesanan medali.
- Contoh 4. Pajak-pajak seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bahkan bisa dimainkan untuk menekan beban PPh badan. Untuk mendapatkan bahan baku, misalnya. Dewasa ini ada perusahaan yang produksinya sudah dikenai PPN, tapi banyak juga yang tidak. Contoh: rumah makan. Mereka yang makan di Wisma Metropolitan Jalan Sudirman tentu terkena PPN 10%. Lain halnya makan di warung yang jauh dari pusat kota, pajak 10% itu tak kan ada. Tapi dalam penghitungan, biaya makan akan tetap dikenai pajak 10%. UU Pajak Penghasilan praktis masih terhitung baru. Jika pemerintah masih memberikan penghargaan, itu mungkin pertanda pemerintah masih ramah, seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun. Namun, kesewenangan petugas pajak tak urung terjadi juga.
Contoh berikut dituturkan seorang dokter spesialis. Dokter yang sederhana dan terkenal baik hati ini - ia sering tak memungut bayaran - tak sedikit pun menyangka bahwa jasanya bisa dibalas dengan bumerang pajak. Bermula dari mengoperasi seorang pasien, yang ternyata ayah seorang petugas pajak. Sehabis operasi, si anak yang petugas pajak minta diskon, tapi rupanya tak bisa dipenuhi. Beberapa waktu kemudian, sang dokter dipanggil ke kantor Inspeksi Pajak Tanah Abang. Di sana ia dimintai keterangan soal izin usaha, jam kerja, dan sebagainya. Dari situ petugas pajak lalu menghitung pajak yang harus dibayar dokter, berdasar hitungan sekian jam kali sekian pasien kali sekian persen. Setelah diperhitungkan dengan pajak yang telah disetornya, petugas lalu mengatakan, pajak sang dokter kurang Rp 5 juta. Ditambah denda 100%, maka ia harus membayar Rp 10 juta. Sang dokter lalu minta bertemu dengan KIP (Kepala Inspeksi Pajak) di Jalan Sudirman. "Tapi petugas di sana bilang tak perlu pakai KIP," ucapnya. Ternyata, kasusnya sudah diteruskan ke Dirjen Pajak, dan ia "divonis" harus membayar kekurangan pajak 1986 Rp 5 juta, plus denda 100%. Sang dokter menyerah. "Kalau untuk negara, saya ikhlas," katanya getir.
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/arsip.php (12 Agustus 1989)
Salah satu cara untuk mengurangi pajak bagi perusahaan yang bergerak di bidang ekpor-import adalah dengan mendirikan perusahaan offshore di negara Tax Haven (Cayman, BVI, Belize, Seychelles, Brunei). Hal ini akan mengurangi pajak yang harus anda bayarkan karena tidak semua profit dibawa kembali ke Indonesia, namun sebagian disimpan di offshore account perusahaan offshore anda.
Untuk Informasi lebih lengkap dan konsultasi gratis kunjungi
www.jakartaoffshore.blogspot.com